Venomena.id – Di sudut tenang Jati Raden, Jati Sampurna, Kota Bekasi, suara lirih kuk…kuk…kekekuk terdengar bersahutan dari deretan kandang yang berjajar rapi. Di balik dinding sederhana itu, tersembunyi sebuah dunia yang penuh seni, keberuntungan, ketekunan, dan kesabaran: dunia perkutut lomba.
Di tempat itulah, Billah Armandiyanto (54) pemilik Rafzia Bird Farm, peternakan perkutut yang terdaftar resmi di P3SI sejak 2014 menghabiskan lebih dari separuh hidupnya.
“Ini salah satu simbol orang Jawa. Perkutut itu dulu piaraan para raja, ada filosofinya. Kalau saya, jatuhnya senang ke seninya. Suaranya itu loh… jelas, khas, unik, nggak bisa disamakan,” ujarnya sambil tersenyum, memegang salah satu sangkar yang baru saja dibersihkan, Minggu (7/12).
Hobi Paling Sulit di Dunia Unggas
Bagi Billah, perkutut bukan sekadar hobi. Ia menyebutnya sebagai hobi paling sulit di antara semua jenis unggas.
“Kesulitannya itu gambling suara. Biik umur seminggu, sebulan, bisa berubah total. Kita nggak pernah tahu jadinya gimana,” ujarnya.
Ketika anak burung menetas, hanya sekitar 5 persen yang berpotensi menjadi perkutut berkualitas lomba. Sisanya? Tetap bisa hidup, tapi tidak memiliki bakat suara yang dibutuhkan.
Perkutut, kata Billah, bukan seperti ayam yang bisa dihitung harga dan hasilnya. Satu indukan bisa dibeli Rp20 juta, namun anakannya bisa saja hanya laku Rp100 ribu atau justru melonjak menjadi puluhan hingga ratusan juta.
“Tidak bisa dihitung secara matematik. Kadang salah beli, kadang kejeblos, pernah sampai jual mobil buat nutupin burung. Tapi itu proses…” katanya sambil tertawa kecil mengenang masa-masa jatuh bangunnya.
Dari 5 Kandang Menjadi 63 Indukan
Billah mulai bermain perkutut sejak 1995. Awalnya hanya memelihara, lalu pada 2002 mulai beternak secara iseng. Baru tahun 2008, ia benar-benar serius.
Kini, Rafzia Bird Farm memiliki 63 kandang indukan lengkap dengan sistem ring berwarna sebagai identitas silsilah semacam “Kartu Keluarga” perkutut.
“Dari ring itu kita tahu anak kandang berapa, bapaknya siapa, kakeknya siapa, bahkan buyutnya. Orang lain mungkin nggak tahu, tapi kita tahu banget asal-usulnya” terangnya.
Proses menyeleksi suara dilakukan berulang di usia 2 bulan, 3 bulan, hingga 6 bulan. terkadang, Billah hanya duduk santai di depan rumah dan tiba-tiba mendengar satu burung yang suaranya beda.
“Nah itu namanya burung kualitas. Dari situ kita masukkan list burung lomba. Rasanya nemu berlian,” ujarnya.
Seni Suara yang Tak Bisa Dimanipulasi
Di dunia perkutut, suara adalah segalanya. Ada 5 komponen penilaian: depan, tengah, ujung, irama, dan dasar suara.
Setiap burung dinilai melalui warna, semacam skor kualitas suara dari 1 hingga 5 warna. Burung 5 warna adalah kasta tertinggi.
“Satu burung dengan yang lain nggak akan pernah sama. Orang awam mungkin dengarnya cuma kukukuk, tapi buat kami, iramanya beda, bawa lagunya beda. Itu seni,” terangnya.
Perkutut tidak bisa dimaster seperti murai atau kacer.
“Nggak bisa dimanipulasi. Bakat dari lahir. Yang bisa kita lakukan hanya latih mental: jalan-jalan, digantang, dibawa ke lapangan,” terangnya.
Burung Termahal: Rp270 Juta
Billah pernah menjual burung ternakannya sendiri dengan harga Rp270 juta padahal burung itu baru juara regional dua kali.
Setelah dibeli orang lain, burung itu juara nasional di Tasikmalaya. Pernah ditawar Rp1 miliar oleh kolektor Madura, tapi ditolak pemilik barunya.
“Kalau rezeki ya burung itu punya rezekinya sendiri. Kita cuma merawat dan meneruskan,” jelasnya.
Komunitas Besar Dengan Sejarah Panjang
Di Indonesia, dunia perkutut bernaung di bawah P3SI (Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia) organisasi yang berdiri sejak 1957.
Bahkan, ketua pusatnya saat ini adalah seorang purnawirawan jenderal yang masih aktif turun ke lapangan dalam usia 80 tahun.
Di Bekasi sendiri ada dua lapangan besar:
– RASK
– Bunga Daerah
Keduanya rutin digunakan untuk event nasional.
“Komunitasnya besar. Satu Indonesia. Dan semua masih hidup karena cinta seni suara burung, bukan uang. Di lomba perkutut nggak ada hadiah uang. Dilarang. Murni pelestarian budaya,” jelasnya.
Minta Pemerintah Lebih Peduli
Meski begitu, Billah mengeluhkan minimnya dukungan pemerintah. Perpindahan burung antar pulau sering kali terhambat urusan karantina. Bahkan lomba antar daerah pun sering dipersulit.
Padahal ekosistem perkutut menyerap banyak tenaga kerja dari pembuat sangkar, pakan, pembersih kandang, pengelola lapangan, hingga peternak pemula.
“Kita cuma berharap pemerintah lebih memudahkan izin, lebih peduli. Karena ini budaya Indonesia. Dan banyak orang menggantungkan hidup di sini,” paparnya.
Hobi yang Jadi Jalan Hidup
Saat ditanya soal omzet, Billah hanya tertawa. “Saya nggak pernah hitung. Yang penting saya menikmati. Dari hobi ini saya bisa hidup, bisa menyalurkan minat, bisa bahagia. Itu sudah lebih dari cukup,” pungkasnya.
Rafzia Bird Farm mungkin tidak megah, namun dari tempat sederhana inilah lahir burung-burung juara yang bersuara merdu, indah, dan bernilai tinggi. Dan dari sinilah pula seni perkutut tetap hidup ditopang para pecinta suara alam yang setia merawat tradisi.









