Venomena.id – Pemerintah Kota Bekasi mulai mengandalkan teknologi Early Warning System (EWS) sebagai instrumen utama mitigasi banjir. Sejumlah sirine peringatan dini telah dipasang di titik-titik rawan luapan Kali Bekasi. Namun, di tengah klaim kesiapsiagaan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa efektivitas sistem ini masih menyisakan tanda tanya, terutama terkait jangkauan suara, sosialisasi warga, dan kesiapan menghadapi banjir besar.
BPBD Kota Bekasi menyebut perangkat EWS yang kini beroperasi merupakan bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Pusat Data dan Informasi (Pusdatin). Sistem ini diklaim sebagai upaya antisipasi agar warga tidak lagi kaget saat banjir datang.
“Tujuan utama EWS adalah memberikan peringatan dini kepada masyarakat Kota Bekasi agar risiko dan kerugian akibat banjir bisa dikurangi, khususnya di sepanjang Kali Bekasi,” ujar Tatang Wiratama, Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kota Bekasi, Senin (15/12).
Menurut Tatang, sistem ini bekerja dengan memasang lima jenis sensor di sepanjang aliran Sungai Cileungsi, Cikeas, hingga Kali Bekasi. Sensor tersebut meliputi pengukur tinggi muka air, kecepatan arus, perubahan alur sungai, curah hujan, serta pemantauan visual melalui CCTV. Seluruh data kemudian dianalisis menggunakan kecerdasan buatan (AI) secara real time.
“Hasil analisis AI inilah yang menentukan kapan peringatan dini disampaikan ke masyarakat, bisa diperkirakan dalam hitungan jam atau menit sebelum banjir terjadi,” jelasnya.
Hasil analisis itu kemudian disebarluaskan melalui sirine EWS di empat titik rawan, yakni Perumahan Pondok Mitra Lestari (Jatirasa), Perumahan Jaka Kencana (Jakasetia), Kampung Lengkak (Bekasi Jaya), dan Kampung Lebak (Teluk Pucung). Selain sirine, BPBD juga memanfaatkan kanal informasi digital BPBD dan aplikasi IKI BPBD.
Namun dalam uji coba yang dilakukan pada 11 Desember lalu, suara sirine EWS hanya terdengar hingga radius sekitar 250–270 meter, meskipun kondisi lalu lintas saat itu ramai dan bising. BPBD berdalih volume suara tidak dibuat terlalu keras agar tidak menimbulkan kepanikan warga.
Alasan tersebut justru menuai catatan kritis. Di kawasan permukiman padat dan bising, jangkauan suara yang terbatas berpotensi membuat sebagian warga tidak mendengar peringatan sama sekali, terutama pada malam hari atau saat hujan deras.
Persoalan lain yang mencuat adalah minimnya sosialisasi langsung kepada warga. Sejumlah warga mengaku belum mendapatkan penjelasan memadai terkait arti bunyi sirine dan langkah yang harus dilakukan ketika peringatan berbunyi.
“Alatnya sudah terpasang hampir sebulan. Pernah bunyi imbauan, tapi tidak terlalu keras. Sosialisasi ke warga juga belum jelas,” ujar Edi, Ketua RT di Kampung Lebak, Kelurahan Teluk Pucung, Bekasi Utara.
Ia menyebut uji coba yang dilakukan lebih bersifat teknis, bukan simulasi darurat yang melibatkan warga secara aktif. “Katanya ini hanya uji coba, bukan keadaan darurat. Tapi warga juga perlu dilatih, jangan hanya dengar bunyi sirine. Terlebih tindakan apa dan titik kumpul aman dan kemana yang harus kami tuju itu belum ada” katanya.
BPBD sendiri mengakui bahwa Kota Bekasi memiliki kerentanan banjir tinggi. Seluruh wilayah kecamatan dinyatakan rawan, dengan titik paling kritis berada di Bekasi Timur dan Bekasi Utara. Banjir terjadi akibat dua faktor utama, luapan Kali Bekasi serta hujan lokal yang tidak tertampung ketika muka air sungai sedang tinggi.
“Kalau Kali Bekasi naik, air hujan lokal tidak bisa mengalir keluar. Itulah yang menyebabkan wilayah seperti Kampung Lebak, Kampung Lengkak, Bekasi Jaya, hingga Teluk Pucung selalu terdampak,” kata Tatang. Ia juga mengakui bahwa di sejumlah titik, tanggul sungai masih belum memadai.
Pemerintah Kota Bekasi menyatakan sistem EWS ini terhubung langsung dengan dashboard BPBD yang tersimpan di server Dinas Kominfo, sehingga potensi banjir dapat dipantau sejak pra-kejadian. Namun, tanpa dibarengi perbaikan infrastruktur pengendali banjir seperti tanggul, polder, atau waduk di hulu DAS Cileungsi–Cikeas, EWS berpotensi hanya menjadi alat peringatan tanpa solusi jangka panjang.
EWS boleh berbunyi lebih cepat, tetapi tanpa sosialisasi masif dan pembenahan fisik sungai, warga tetap menjadi pihak paling rentan saat air kembali meluap.









