Venomena.id – Mengajar di Sekolah Rakyat Pangudi Luhur (SRPL) bukan sekadar rutinitas datang pagi-pulang sore. Di sekolah berasrama milik Kementerian Sosial yang diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu ini, para guru hidup berdampingan dengan para siswa siang dan malam.
Ya, para guru di SRPL bukan hanya mengajar, mereka ikut tinggal di rusun khusus, tepat di seberang sekolah. Mereka tak hanya menjadi pengajar, tapi juga pendamping hidup, pengasuh emosional, bahkan pengganti keluarga bagi para siswa yang tinggal jauh dari rumah.
“Kami tidak sekadar datang mengajar. Kami menetap di sini. Mengawal tumbuh kembang anak-anak yang penuh luka tapi juga penuh harapan,” ungkap Kepala Sekolah SRPL, Lastri Fajarwati, Kamis (10/7).
21 Guru, 19 Wali Asuh, dan 3 Wali Asrama
Total ada 21 guru yang bertugas di SRPL. Mereka datang dari berbagai kota Tegal, Yogyakarta, Garut, hingga Bekasi sendiri. Tapi meski rumah mereka dekat, banyak guru lokal yang memilih ikut tinggal di rusun agar bisa sepenuhnya hadir bagi para siswa.
Guru-guru ini dibagi dalam tiga peran utama: Guru pembelajaran, yang fokus pada pengajaran akademik. Wali asrama, yang bertanggung jawab mengelola kehidupan sehari-hari di dalam asrama. Wali asuh, yang mendampingi siswa dalam urusan emosional, kebiasaan, dan karakter.
“Anak-anak ini datang dari latar belakang berat. Kami ingin mereka merasakan bahwa sekolah ini bukan cuma tempat belajar, tapi juga rumah kedua,” jelas Lastri.
Tak Ada Tes Masuk, Tapi Verifikasi Sosial Ketat
Yang diterima di SRPL bukan mereka yang paling pintar, tapi mereka yang paling membutuhkan. Proses masuk dilakukan melalui verifikasi dari Data Calon Operasional (DCO) Kementerian Sosial kategori DCO 1 dan DCO 2. Data itu kemudian diverifikasi lapangan, bahkan dilengkapi dokumentasi video yang dikirim langsung ke pusat.
“Kami bukan seleksi akademik, kami survei. Pak Presiden pun tahu siapa saja siswa yang masuk,” ujar Lastri.
Adaptasi Tiga Bulan, Fokus pada Karakter dan Kemandirian
Masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) di SRPL tak hanya tiga hari, tapi tiga bulan. Di masa adaptasi ini, siswa tidak langsung dijejali pelajaran. Mereka menjalani retret kehidupan belajar tanggung jawab, kedisiplinan, nilai-nilai agama, hingga hidup mandiri.
“Fokus utamanya adalah membentuk kebiasaan baik. Setelah itu baru masuk ke pembelajaran intensif,” kata Lastri.
Salah satu bagian penting dari masa adaptasi ini adalah well-being siswa. Mereka diawasi secara emosional oleh wali asuh agar benar-benar merasa nyaman dan merasa seperti di rumah.
Sekolah yang Mengubah Cara Pandang
Meski dikhususkan bagi anak-anak dari keluarga miskin, SRPL tetap mengacu pada kurikulum nasional. Namun, pendekatannya jauh lebih manusiawi. Pembelajaran disesuaikan dengan ritme kehidupan berasrama dan diberi sentuhan karakter, agama, dan keterampilan vokasional.
Bahkan, untuk penjurusan IPA atau IPS di kelas 11 nanti, SRPL menggunakan hasil tes talent DNA agar siswa tahu arah bakatnya, bukan sekadar mengikuti nilai.
“Kami ingin mengenal mereka lebih dalam. Menemukan potensi sejati mereka,” ujar Lastri.
Sekolah dengan Guru yang Tak Pernah Pulang
Sekolah Rakyat Pangudi Luhur memang berbeda. Guru-gurunya memilih tak pulang ke rumah demi mendampingi anak-anak yang dulu dianggap tak punya harapan. Mereka hidup bersama, makan bersama, mengobrol sebelum tidur, dan bangun pagi bersama siswa-siswanya.
Mereka hadir dengan sepenuh hati, bukan sekadar sebagai pendidik, tapi juga sebagai penjaga mimpi-mimpi kecil yang mulai tumbuh.
Sekolah ini mungkin belum sempurna. Masih banyak yang perlu dibenahi. Tapi di balik bangunan sederhananya, ada cinta dan pengabdian yang tak ternilai. SRPL bukan sekadar sekolah ia adalah keluarga.