Venomena.id – Di tengah hiruk pikuk zaman dan arus modernisasi yang kian menggulung nilai-nilai moral generasi muda, ada secercah cahaya yang tetap menyala di sudut Kota Bekasi. Cahaya itu bernama Rumah Belajar Teras Aksara, sebuah tempat belajar sederhana yang berlokasi di Jalan H. Apit, Rawamulya, Mustika Jaya.
Berbeda dengan lembaga pendidikan formal pada umumnya, Teras Aksara bukan sekadar tempat mengajarkan matematika, bahasa Inggris, atau sejarah. Di sana, anak-anak belajar mengenal huruf sekaligus mengenal adab. Mereka diajarkan berhitung, tapi juga diajarkan menundukkan ego, menghormati orang tua, serta memahami makna hidup yang lebih luas dari sekadar deretan angka dan huruf di papan tulis.
Berawal dari Teras Rumah
Cerita tentang Teras Aksara dimulai pada tahun 2001. Saat itu, Sri Suryandari, sang pendiri, baru saja pindah ke Rawamulya. Melihat banyak anak di lingkungan sekitar yang tidak memahami peran mereka sebagai pelajar, ia pun tergerak untuk mengajar.
Awalnya, kegiatan belajar mengajar dilakukan di teras rumah sederhana, tanpa papan tulis, hanya beralas tikar. Dari situlah nama Teras Aksara lahir.
“Anak-anak di sini dulu belajar huruf di teras rumah. Makanya kami namakan Teras Aksara,” kenang Sri dengan mata berkaca-kaca, saat didatangi pewarta Jumat (18/7).
Meski baru resmi berbadan hukum sebagai yayasan sejak setahun lalu, sejatinya kegiatan ini sudah berjalan lebih dari dua dekade.
Mengajarkan Ilmu, Menanamkan Akhlak
Saat ini, Rumah Belajar Teras Aksara memiliki sekitar 60 murid dari tingkat SD hingga SMP. Mereka datang bukan hanya dari lingkungan sekitar, tapi juga dari wilayah lain di Bekasi.
Setiap hari, dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 16.00 sore, anak-anak belajar di tiga tempat sederhana: teras rumah, mushola kecil yang juga dijadikan kelas, serta perpustakaan mini yang Sri bangun dari sisa ruang di halaman rumahnya.
Mata pelajaran yang diajarkan pun beragam. Sri sendiri mengajarkan matematika. Anaknya, Agus Wibisono, mengajarkan bahasa Inggris dan sejarah. Namun mereka sepakat, pelajaran utama di Teras Aksara adalah adab dan akhlak.
“Matematika itu cuma umpan, supaya anak-anak mau datang belajar. Setelah mereka datang, baru kita ajarkan tentang ahlak, tentang hidup yang baik, tentang cara menghargai orang lain,” ujar Agus.
Sabtu Malam: Malam Perenungan
Ada satu kegiatan yang menjadi ciri khas Teras Aksara: program menginap setiap Sabtu malam. Para murid, laki-laki maupun perempuan, berkumpul sejak pukul 17.30 sore. Mereka belajar sholat berjamaah, makan bersama, lalu dilanjutkan dengan sholat tahajud di tengah malam.
Dalam momen itu, anak-anak diajak untuk berbicara dari hati ke hati. Mereka menceritakan keluh kesah, bahkan secara jujur mengungkap apa yang sudah mereka lakukan selama ini.
“Miris mas, anak-anak sekarang banyak yang sudah terpapar tontonan dewasa sejak usia SD. Di luar sana mungkin tertutup, tapi di sini mereka terbuka karena polos,” ujar Agus lirih.
Ia mengaku, kegiatan malam minggu ini menjadi semacam proses introspeksi bagi anak-anak. Mereka belajar mengenal diri, memahami batasan, dan membangun harga diri yang positif.
Menyulam Asa di Tengah Krisis Pendidikan
Teras Aksara juga menerima anak-anak yang bahkan belum bisa membaca atau menulis meski sudah duduk di bangku SMP. Agus dan Sri tak keberatan harus memulai dari nol, mengajarkan abjad dan cara membaca satu per satu.
“Kadang kami dapat ‘operan’ dari sekolah formal. Ada anak yang sekolah tapi nggak bisa baca, akhirnya belajar baca di sini,” ujar Agus.
Sri menambahkan, mereka tak mengutamakan kecerdasan semata. “Bagi saya, anak-anak ini nggak perlu jadi juara kelas. Yang penting mereka paham, suka belajar, dan jadi manusia yang baik.”
Tanpa Biaya, Tanpa Pamrih
Yang menarik, semua kegiatan di Teras Aksara ini non-profit. Tidak ada biaya les, tidak ada pungutan. Bahkan saat listrik membengkak karena kegiatan belajar malam minggu, Sri dan Agus lebih memilih menutupinya dengan uang pribadi atau sumbangan seikhlasnya, tanpa pernah memaksa siapa pun.
“Saya memang idealis. Dulu saya nggak mau minta bantuan karena takut orang ngasih dengan terpaksa. Kalau ada yang mau bantu, ya saya terima. Tapi saya nggak pernah meminta-minta,” tegas Sri.
Menyalakan Pelita di Tengah Gelap
Di zaman ketika banyak anak lebih akrab dengan gawai daripada dengan buku, ketika sopan santun mulai dianggap barang usang, Rumah Belajar Teras Aksara mencoba menyalakan pelita kecil. Cahaya yang mungkin redup di mata dunia, tapi bagi mereka yang belajar di sana, cahaya itu adalah harapan.
Bukan sekadar mencetak anak-anak pintar, tetapi membangun manusia-manusia berakhlak baik yang memahami makna hidup dengan penuh rasa.
“Kalau cuma pintar, banyak. Tapi kalau pintar dan beradab, itu yang sekarang langka. Itu yang ingin kami wujudkan di sini,” tutup Agus, sembari merapikan buku-buku di perpustakaan kecil mereka.