Venomena.id – Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia di wilayah RT 03/02, Kelurahan Jakasela, Kecamatan Bekasi Selatan, diwarnai polemik. Warga mempertanyakan kebijakan Karang Taruna Sub Unit 302 dan perangkat RT yang mewajibkan setiap rumah membayar iuran Rp35.000, sementara pelaku usaha dikenakan Rp150.000.
Dalam surat edaran tertanggal 7 Agustus 2025, yang ditandatangani Ketua Pelaksana Zahra Jamilah Atirah, Ketua Karang Taruna Idgar Sanjada, serta Ketua RT Rohadi, pungutan itu disebut sebagai dana untuk lomba dan perayaan kemerdekaan. Surat tersebut juga menggunakan kop resmi Karang Taruna dan distempel ketua RT.
Bagi sebagian warga, aturan ini dianggap memberatkan dan terkesan memaksa.
“Bukan masalah nominalnya, tapi kesannya seperti wajib. Kalau tidak bayar takutnya nanti dianggap anti kemerdekaan,” keluh Santi (39), penjual gorengan yang sudah tinggal di wilayah itu lebih dari 10 tahun, Selasa (12/8).
Keluhan senada disampaikan Rudi (45), sopir angkot yang mengaku penghasilannya pas-pasan.
“Sekarang harga sembako mahal, sekolah anak juga banyak tagihan. Mestinya panitia cari sponsor atau gotong royong, bukan narik duit dari warga,” ujarnya.
Beberapa warga bahkan mengaku tidak pernah diundang dalam rapat pembahasan. “Kami tahu-tahu dapat surat edaran. Padahal ini acara untuk semua, harusnya dibicarakan di musyawarah lingkungan,” protes Arman (51), tokoh pemuda setempat.
Meski menuai kritik, panitia tetap bersikukuh pungutan tersebut hasil kesepakatan internal. Mereka berdalih, dana itu dibutuhkan untuk menutupi biaya panggung, hadiah lomba, hingga konsumsi.
Namun, ahli hukum administrasi publik menegaskan, pungutan yang bersifat wajib kepada warga hanya bisa dilakukan jika memiliki dasar hukum yang jelas, seperti Peraturan Daerah (Perda) atau keputusan resmi pemerintah yang lebih tinggi.
“Kalau ini murni inisiatif panitia atau RT tanpa dasar hukum, maka kategorinya iuran sukarela. Artinya, tidak boleh ada paksaan, apalagi sanksi bagi yang menolak membayar,” ujar Dr. Fajar Wicaksono, akademisi Universitas Krisna Bekasi.
Ia juga mengingatkan, penggunaan kop surat dan stempel ketua RT bisa menimbulkan kesan seolah-olah pungutan tersebut merupakan kewajiban administratif, padahal secara hukum belum tentu sah.
Sejumlah tokoh masyarakat menilai pola penarikan dana seperti ini berpotensi memicu gesekan sosial, terutama jika ada warga yang menolak membayar. “Perayaan kemerdekaan mestinya jadi momen persatuan, bukan beban tambahan. Jangan sampai semangat 17 Agustus berubah jadi ajang cari cuan,” kata seorang warga senior yang enggan disebut namanya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kelurahan belum memberikan keterangan resmi terkait legalitas pungutan tersebut. Warga yang keberatan berencana menyampaikan protes langsung ke camat.