V News

Fenomena Pejabat Rakus Kursi: Jadi Kepala Daerah, Tapi Masih Betah Jadi Bos Swasta

433
×

Fenomena Pejabat Rakus Kursi: Jadi Kepala Daerah, Tapi Masih Betah Jadi Bos Swasta

Sebarkan artikel ini

Venomena.id – Sudah dilantik, sudah pakai pin emas, sudah disumpah atas nama rakyat. Tapi entah kenapa, sebagian kepala daerah dan wakilnya masih sulit melepaskan kursi empuk di luar sana. Ada yang tetap tercatat sebagai komisaris perusahaan, ada yang masih nyaman duduk di kursi direksi, bahkan ada yang terus mengendalikan yayasan dan bisnis keluarga.

Pertanyaannya: mereka ini pejabat publik, atau pengusaha yang sedang magang jadi pejabat?

Fenomena pejabat maruk kursi ini jelas menggelitik sekaligus menyedihkan. Ketika rakyat berharap penuh pada pemimpin daerah agar fokus mengurus persoalan banjir, jalan rusak, kemiskinan, dan layanan publik, ternyata energi sang pejabat malah terbagi. Separuh untuk rakyat, separuh lagi untuk mengurus setoran keuntungan di korporat.

Inilah yang disebut benturan kepentingan. Sebuah ranjau yang bisa menghancurkan integritas kebijakan daerah. Jika pejabat masih punya kepentingan di perusahaan, bagaimana mungkin kebijakan yang ia ambil bisa jernih? Apakah izin tambang akan ditandatangani demi kebutuhan daerah, atau demi mempertebal kantong pribadi? Apakah proyek infrastruktur diputuskan demi rakyat, atau demi memperbesar saham keluarga?

Baja juga:  Peneliti ITS Nilai Podcast Nofel Hanya Makin Menjatuhkan Karir Politiknya, Perlu Kedewasaan Berfikir

Undang-undang sebenarnya sudah jelas. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sama-sama menegaskan larangan rangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Tapi di negeri ini, hukum sering dianggap sekadar formalitas, bukan pedoman. Alasan klasik pun muncul: “SK pemberhentian belum turun”, “masalah administrasi belum selesai”, atau “sekadar formalitas yang butuh waktu”.

Rakyat tentu tidak sebodoh itu. Publik melihatnya dengan kacamata lain: pejabat yang serakah, rakus jabatan, dan tidak rela melepas kenyamanan lama.

Seorang pengamat tata kelola pemerintahan, Dr. Hadi Santosa, menilai praktik rangkap jabatan ini lebih dari sekadar persoalan etika. “Ini bukan sekadar soal ganda jabatan, tapi soal arah kebijakan publik. Kalau pejabat masih punya kaki di sektor swasta, setiap kebijakan yang ia tandatangani bisa dianggap bias. Rakyat jadi korban, sementara keuntungan pribadi jalan terus,” tegasnya.

Baja juga:  Cegah DBD, Siloam Bekasi Sepanjang Jaya Ajak Masyarakat Vaksin Dengue

Ia menambahkan, rangkap jabatan juga bisa menurunkan kepercayaan masyarakat. “Integritas pejabat diuji dari komitmen awal. Kalau sejak awal saja enggan melepas jabatan lama, bagaimana publik bisa percaya bahwa ia rela berkorban demi kepentingan umum? Ini soal trust. Sekali publik merasa ditipu, kepercayaan itu sulit kembali,” ujarnya.

Pada akhirnya, jabatan publik bukanlah panggung untuk menambah portofolio karier. Itu adalah amanah penuh yang menuntut dedikasi total. Jika ada kepala daerah atau wakilnya yang masih hobi memegang kursi ganda, maka publik wajar mencibir: mereka bukan sedang mengabdi, tapi sedang memperdagangkan jabatan.

Rakyat sudah kenyang melihat pemimpin yang pandai berjanji tapi enggan melepas kenyamanan pribadi. Barangkali sudah saatnya kita bertanya: pemimpin seperti ini, layak disebut pemimpin, atau hanya pedagang kepentingan dengan seragam pejabat?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *