Venomena.id – Sidang putusan kasus kekerasan dan perbuatan asusila terhadap seorang santri di Pondok Pesantren Daarul Ishlah, Cilegon, digelar di Pengadilan Negeri Cilegon pada Kamis (20/11). Hakim menjatuhkan vonis 2 tahun 4 bulan penjara kepada terdakwa, santri senior yang diduga melakukan kekerasan fisik hingga tindakan asusila terhadap korban berinisial B (14). Putusan ini langsung menuai kekecewaan dari pihak keluarga korban maupun kuasa hukum.
Kuasa hukum keluarga korban, Mohammad Hariadi Nasution, SH., MH., CLA., C.Med, menilai putusan hakim terlalu ringan dan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi korban yang harus menanggung trauma seumur hidup.
“Kalau JPU menuntut 3 tahun, hakim memutus 2 tahun 4 bulan. Pertimbangannya terlalu memihak pada masa depan pelaku. Sementara perkembangan psikologis korban, penderitaannya, tidak dipertimbangkan dengan serius,” ujar Hariadi usai sidang.
Menurutnya, seharusnya hakim melihat beratnya dampak kasus ini serta mempertimbangkan adanya unsur pemaksaan dan kekerasan yang dialami korban.
“Korban ini harus direhabilitasi, harus bangkit lagi secara psikologis dan pendidikan. Kerugiannya bukan sehari dua hari, tapi seumur hidup. Keputusan ini terasa berat sebelah,” tegasnya.
Hariadi juga menyinggung adanya perbedaan fakta yang disampaikan dalam proses persidangan dengan cerita asli yang diungkapkan korban kepada ibunya.
“Dari cerita ibu korban, jelas ada pemaksaan, penganiayaan, kekerasan. Itu seharusnya membuat dakwaan tidak tunggal. Tapi tidak semua fakta muncul dalam proses hukum,” tambahnya.
Ibu Korban: “Saya Belum Merasa Ada Keadilan untuk Anak Saya”
Ibu korban, S (42), terlihat menahan tangis ketika keluar dari ruang sidang. Ia mengaku kecewa dengan putusan hakim dan menyatakan akan terus mencari keadilan.
“Untuk saya, ini belum adil untuk putra saya. Anak saya akan menanggung tekanan psikologis seumur hidup. Saya sebagai ibu tidak tenang,” ujarnya.
S juga mengungkapkan bahwa sejak kasus ini mencuat, pihak pesantren Daarul Ishlah tidak pernah menunjukkan itikad baik untuk bertemu keluarga korban ataupun meminta maaf.
“Dari pihak pondok tidak ada etika untuk menemui kami. Saya minta ketemu pimpinan saja tidak pernah direspons. Padahal anak saya mengalami kekerasan di tempat mereka,” katanya.
Ia juga menyebutkan bahwa selama proses anaknya masih bersekolah, pihak pondok justru tidak mengizinkan korban mengikuti ujian dengan alasan keberadaan pelaku di lingkungan pondok.
“Saya merasa malah kami yang harus memohon. Padahal anak saya adalah korban,” tutupnya.
Kasus ini bermula saat B mengaku mengalami serangkaian kekerasan fisik hingga pelecehan seksual sejak 2023 oleh beberapa kakak tingkat di pesantren Daarul Ishlah, Kelurahan Panggung Rawi, Kecamatan Jombang, Kota Cilegon.
Peristiwa kekerasan terjadi berulang:
September 2023: Korban dipaksa masuk kamar pelaku P, dipukul, dicekik, dan mendapat kekerasan seksual.
September 2024: Pelaku lain berinisial K melakukan pelecehan saat korban mengantarkan makanan untuk santri yang sakit.
Oktober 2024: Korban kembali menjadi korban tindakan asusila saat tertidur kelelahan.
Selain itu, korban juga mengaku pernah ditembak peluru karet dan dipukul oleh beberapa pelaku lainnya.
Trauma berat membuat B berhenti mondok dan kini menjalani pendidikan program paket.
Upaya Keluarga Terhambat, Pesantren Diduga Tutupi Kasus
Ibu korban mengaku bahwa ketika mendatangi pesantren pada Januari 2025 untuk meminta klarifikasi, dirinya tidak pernah dipertemukan dengan pelaku maupun pihak pimpinan pondok, meski sudah menunggu hingga tengah malam.
Pihak pesantren bahkan disebut memberikan pernyataan berbeda ketika dimintai keterangan oleh Kementerian Agama, menyebut tidak ada tindakan asusila dan menyalahkan orang tua korban.
“Banyak keterangan yang tidak sesuai. Pesantren cenderung menutupi kasus ini,” kata S.
Tidak puas, S melaporkan kasus tersebut ke Kemenag, KPAI, hingga akhirnya membuat laporan polisi pada Maret 2024. Berkas perkara pelaku K dinyatakan lengkap (P21) pada Oktober 2025.
Jaksa kemudian menuntut pelaku 3 tahun penjara, namun putusan hakim lebih ringan.
Langkah Lanjut: Banding Masih Dipertimbangkan
Kuasa hukum korban masih mempertimbangkan untuk mengajukan upaya hukum berikutnya.
“Keluarga masih berpikir. Kami juga akan berdiskusi untuk langkah selanjutnya. Tidak menutup kemungkinan banding,” ujar Hariadi.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pesantren Daarul Ishlah belum memberikan tanggapan.
Sementara itu, keluarga korban menegaskan tidak akan berhenti memperjuangkan keadilan.
“Saya akan terus mencari keadilan untuk anak saya. Saya tidak akan berhenti di sini,” tegas ibu korban.









