Oleh : Aznil Tan
Venomena.id – Coba anda tanyakan ke AI Chat GPT atau Chat Bing, apa syarat People Power? Kedua-duanya akan menjawab dengan nada yang sama.
Yaitu, People Power bisa terjadi ada 3 syarat. Pertama, adanya common enemy, yaitu musuh bersama yang dianggap sebagai sumber masalah dan ketidakadilan bagi rakyat.
Kedua, adanya pemicu, yaitu peristiwa atau kejadian yang memicu kemarahan dan ketidakpuasan rakyat, sehingga memotivasi mereka untuk bergerak bersama-sama. Ketiga, adanya aktor pengubah, yaitu kelompok atau individu yang mampu memobilisasi dan mengorganisir massa untuk melakukan aksi protes.
Umumnya, people power melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat, dukungan luas, dan ketidakpuasan yang mendalam terhadap pemerintah atau sistem yang ada.
People power biasanya terjadi di negara-negara yang mengalami krisis ekonomi, politik, dan sosial akibat pemerintahan yang diktator, korup, atau tidak demokratis.
Maka rakyat bangkit bersama dan bersatu untuk mencapai perubahan politik atau sosial secara damai. Namun, People Power bisa meletus menjadi sebuah eskalasi lebih tinggi lagi, yaitu revolusi sosial. Rakyat tidak lagi mencari legitimasi konstitusional, karena revolusi sosial justru mengambil alih kekuasaan dan merombak decara radikal sistem politik, sosial, dan ekonomi yang ada dengan cara di luar konstitusi.
Apakah syarat People Power tersebut sudah terpenuhi di Indonesia? Mari kita bedah.
Nepotisme dan Politik Dinasti Jokowi
Saya melihat people power sudah ada di depan mata. Indonesia sekarang lagi terjadi krisis demokrasi yang mana sebagai pemicu terjadinya people power pada suatu negara. Syarat-syaratnya pun sudah terpenuhi.
Jokowi sudah menjadi Common Enemy atau musuh bersama sebagai syarat utama terjadinya gerakan people power di Indonesia
Bahwa persoalan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah persoalan sensitif di suatu negara, karena dampak negatifnya sangat luar biasa kepada sendi-sendi kehidupan rakyat. Praktek dilakukan penguasa tersebut bisa menyebabkan terjadinya people power dan revolusi pada suatu negara.
Filipina (1986) terjadi people power menggulingkan rezim diktator Ferdinand Marcos. Revolusi Mesir pada 2011 melibatkan people power yang memprotes rezim Presiden Hosni Mubarak dan akhirnya mengakibatkan pengunduran dirinya. Begitu juga terjadi di Hongkong (2019), Myanmar (2021) dan berbagai negara lainnya.
Begitu juga di Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi People Power menuntut reformasi dan tumbangnya Presiden Soeharto setelah tiga puluh tahun berkuasa. Agenda utama reformasi adalah membentuk negara bersih anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan negara yang demokratis,
Namun, 25 tahun reformasi berjalan, tiba-tiba Indonesia ditimpa krisis demokrasi dan politik. Penguasa Jokowi melakukan praktek nepotisme dalam membangun politik dinastinya. Kekuasaan dimiliki Jokowi dijadikan negara ini untuk membawa kepentingan keluarga dan kroni-kroninya.
Itu dilakukan sangat vulgar dan dengan bangga memamerkan nepotisme dilakukannya.
Seperti anak dan menantunya menjadi Walikota, Iparnya menjadi ketua Mahkamah Konstitusi. Menyulap anak bungsunya menjadi Ketum partai dalam dua hari serta sampai pada kroni-kroni Solo-nya mengisi posisi strategis.
Puncak praktek kejahatan nepotisme dilakukan sang penguasa Jokowi ini adalah membangun politik dinasti dengan mensetting anak sulungnya menjadi Calon Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pilpres 2024 berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden.
Kemarahan publik membludak,karena pencalonan anaknya bernama Gibran Rakabuming Raka karena menabrak konstitusi yang ikut berkompetisi disaat bapaknya berkuasa sebagai Presiden RI.
Anaknya berumur 36 tahun tidak memenuhi syarat ketentuan perundang-undangan yang menetapkan syarat Capres dan Cawapres berumur 40 tahun. Namun berkat pamannya sebagai Ketua MK lalu merubah ketentuan perundang-undangan tersebut di detik-detik terakhir penutupan pendaftaran Capres-cawapres. Itu semua dilakukan dengan cara kasar dan menganggap anak bangsa di republik ini seperti orang yang bisa dibodohi-bodohi.
Dia dan kroni-kroninya lalu dengan entengnya membangun narasi ke publik, bahwa dia bukan mengangkat anaknya. Tapi yang menentukan nanti rakyat, melalui pemilihan secara demokratis, Pemilu. Siapa tidak suka, silahkan tidak coblos.
Dengan mengunakan permainan watak dengan tampang plonga-plongonya, apa yang dia lakukan tersebut merasa tidak salah dan menganggap hal tersebut sebagai kewajaran.
Sementara yang dia lakukan tersebut tidak dibenarkan dari sudut pandang dan teori apapun, baik norma-norma hukum, moral, etika, budaya, sosial dan politik.
Praktek tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan pada rakyat. Praktek tersebut diharamkan dalam negara demokrasi. Praktek tersebut diharamkan dalam roh pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ditengah masyarakat, baik kelompok civil society, pro demokrasi, akademisi, praktisi hukum, budayawan dan mahasiswa tersentak melihat kebrutalan berdemokrasi dan cara bernegara dilakukan Jokowi tersebut. Praktek tersebut memicu reaksi emosional dan ketidakpuasan luas di antara masyarakat.
Praktek tersebut menimbulkan kegelisahan bersama yang mengusik hati nurani rakyat, sehingga memotivasi mereka untuk bergerak bersama-sama. Penggeraknya sangat beragam dan lahir dari semangat kebersamaan.
Dari kalangan pro demokrasi, civil society, para ahli tata negara, akademisi praktisi hukum sampai mahasiswa bersatu padu menjadi aktor pengubah dalam memotivasi dan membimbing masyarakat dalam melawan nepotisme dan politik dinasti Jokowi ini.
Gelombang kekuatan ini semakin memiliki daya ledakan besar karena ditopang oleh partai politik yang dirugikan dalam kehadiran pencawapresan anak Jokowi tersebut. Mereka memiliki kemampuan besar dalam mengorganisir dan memobilisir dukungan publik.
Tiga syarat tersebut sudah terpenuhi menjadi momentum untuk terjadinya People Power.
People Power untuk Rakyat
Jika terjadi people power, janganlah memberi cek kosong seperti kasus reformasi 1998. Kemenangan rakyat pada saat itu dimana arah tatanan Indonesia selanjutnya sangat kuat ditentukan oleh elit politik dan kelompok oligarki.
People power pada momentum ini haruslah menguntungkan rakyat dan memberi keadilan serta membentuk peradaban Indonesia lebih tinggi dan luhur.
Jangan semata-mata kepentingan politik saja pada Pemilu 2024. Apalagi hanya untuk kepentingan sesaat demi memenangkan capres-cawapres pada Pilpres 2024. Lalu nilai-nilai untuk bangsa ini dilupakan.
Momentum ini harus menuntaskan praktek nepotisme dan politik dinasti. Definisi ini harus tuntas dan clear dalam ketentuan berbangsa dan bernegara kedepan. Tidak ada lagi perdebatan atau pembenaran seperti terjadi sekarang ini yang membuat definisi sendiri tentang definisi nepotisme dan politik dinasti.
People power ini harus tegas mengatur bahwa segenap keluarga sang penguasa yang sedang berkuasa dilarang mencalon, menjabat, dan mengisi posisi di dalam pemerintahan baik secara ditunjuk langsung ataupun melalui pemilihan (pemilu/pilkada/pileg) atau melalui tim seleksi lainnya.
Ketentuan ini berlaku dari pusat sampai ke tingkat pemerintahan desa, baik pada posisi legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Setelah sang penguasa tidak berkuasa lagi dibolehkan anak atau keluarganya untuk ikut dalan mengisi posisi jabatan tersebut sebagai bentuk penghormatan atas Hak Asasi Manusia.
Selain itu, ketentuan bernegara kedepan memberikan kesempatan pada umur 27 tahun bisa ikut mencapres atau mencawapres. Untuk peserta yang ikut mencapres atau mencawapres dengan ketentuan ambang batas atau presidential threshold adalah 0%.
Penulis adalah penggagas peopleVoice
peopleVoice adalah gerakan kelompok civil society dan pro demokrasi memperjuangkan hak-hak rakyat dan membangun peradaban Indonesia modernis dan futuristik.
Kelompok ini bergerak secara independen dan mandiri.