HeadlineV Opini

Buka Kembali Ancol sebagai Hak Ruang Publik

63
×

Buka Kembali Ancol sebagai Hak Ruang Publik

Sebarkan artikel ini
Seluruh tipe motor Yamaha, apapun jenis tipe kendaraannya, dapat menikmati fasilitas masuk gratis ke Ancol selama periode tersebut.

Opini Oleh:
Aznil Tan
Direktur Eksekutif Jakarta Policy Watch

 

Venomena.id – Gubernur Jakarta Pramono Anung mencanangkan visi “Jakarta Kota Global”. Namun, visi ini akan menjadi jargon kosong jika tidak disertai pemenuhan hak dasar warga kota—terutama keadilan akses terhadap ruang publik.

Di kota global yang beradab, ruang publik seperti taman kota, jalur pejalan kaki, hingga laut dan pantai, merupakan hak kolektif warga yang harus dijamin negara. Sayangnya, Jakarta justru memperlihatkan gejala sebaliknya: ruang hidup diprivatisasi, laut dipagari, dan pantai dikomersialisasi.

Contoh paling nyata adalah kawasan Ancol. Sejak lama, satu-satunya akses publik ke garis pantai utara Jakarta ini berubah menjadi kawasan komersial tertutup. Warga harus membayar tiket masuk bahkan hanya untuk sekadar menghirup udara laut. Sebaliknya, pantai lain di Jakarta utara telah dikuasai pelabuhan, kawasan industri, atau reklamasi yang tertutup.

Privatisasi ruang hidup semacam ini bukan hanya soal pungutan tiket, tetapi merupakan persoalan mendasar tentang arah pembangunan kota. Komodifikasi laut dan pantai menyingkirkan esensi kota sebagai rumah bersama. Ketika ruang publik dijadikan alat pendapatan asli daerah (PAD), maka keadilan sosial telah dikalahkan oleh logika pasar.

Dalam hukum lingkungan global, laut adalah milik bersama umat manusia (common heritage of mankind), bukan komoditas eksklusif. Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982) dan prinsip public trust doctrine mengamanatkan agar negara melindungi akses publik terhadap laut dan pantai sebagai bagian dari hak hidup bersama.

Baja juga:  Migrant Watch Nilai Dubes Terpilih Jangan Cuma Gagah Gagahan, Fokus Lindungi PMI

*Konstitusi dan Konvensi Internasional: Pantai Adalah Hak Publik*

Di negara-negara maju, seperti Belanda, Denmark, Inggris, Australia, hingga Amerika Serikat, pantai dibuka seluas-luasnya untuk publik. Tidak boleh ada pemagaran oleh swasta, apalagi pungutan tiket untuk akses dasar. Bahkan di California, hukum melarang privatisasi pantai meskipun berbatasan dengan hotel-hotel mewah.

Ironisnya, di Jakarta yang dikelola oleh pemerintah daerah, justru akses laut dijadikan ladang bisnis. PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk—yang sebagian sahamnya dimiliki Pemprov DKI—memungut tiket dan parkir tinggi atas nama pengelolaan kawasan. Ini membuat negara bertindak bukan sebagai pelindung hak warga, melainkan sebagai operator komersial.

Padahal Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, laut adalah hak publik, bukan ruang eksklusif yang hanya boleh dinikmati mereka yang mampu membayar.

Visi Jakarta sebagai kota global seharusnya dibarengi upaya mewujudkan kota yang inklusif: menjamin akses gratis terhadap ruang publik tanpa diskriminasi ekonomi. Namun kenyataannya, warga terus dibebani tarif untuk menikmati alam yang seharusnya menjadi milik bersama.

*Ancol Dibunuh untuk PIK?*

Ironi ini semakin kuat ketika kita bandingkan dengan Pantai Indah Kapuk (PIK). Kawasan ini dikelola oleh entitas swasta, tetapi menyediakan ruang publik secara gratis dan terbuka. Warga bisa berjalan, duduk, menikmati laut tanpa dipungut biaya. Sementara Ancol, yang dikelola BUMD, justru penuh tarif dan pembatasan. Aneh bukan?

Baja juga:  Prabowo Penting Mengedepankan Kebutuhan Konstitusional Peran Wakil Presiden Teknokrat, Bukan Ban Serep

Pemprov DKI berdalih bahwa biaya pengelolaan Ancol tinggi dan tarif diperlukan untuk menutupnya. Tapi logika ini menyesatkan. Tidak semua PAD berarti adil. Jika hak dasar warga dijadikan sumber pendapatan, maka telah terjadi kesalahan prinsip. Pemerintah seharusnya menutupi biaya operasional ruang publik dari APBD, CSR, atau mekanisme subsidi silang—bukan dari tarif yang membebani rakyat.

Ruang publik yang terbuka justru memunculkan dampak ekonomi lebih luas. UMKM, pedagang kecil, dan sektor informal tumbuh di sekitarnya. Uang tetap berputar, tapi lebih merata dan partisipatif. Ini lebih sehat ketimbang membatasi warga dengan sistem berbayar yang justru membuat Ancol makin sepi.

Tidak heran bila kini muncul pertanyaan publik: jangan-jangan Ancol sengaja dibiarkan tetap berbayar agar PIK, yang gratis dan lebih menarik, menjadi primadona baru warga kelas menengah. Jika itu benar, maka kita menghadapi kegagalan total dalam menjalankan mandat keadilan ruang.

Negara semestinya hadir melampaui logika pasar. Ketika negara justru memagari laut, dan swasta membuka akses pantai, maka kita patut bertanya: siapa sesungguhnya yang berpihak pada rakyat?

Membuka kembali akses gratis ke laut Ancol bukan sekadar soal tiket, tapi soal karakter kota: apakah Jakarta ingin menjadi kota global yang beradab, atau kota metropolitan yang menjual ruang hidup rakyatnya sendiri.

Laut adalah jendela kebebasan warga kota. Jika jendela itu digembok dengan tarif, maka kota ini kehilangan arah moralnya.

Editor: Ahmad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *