Venomena.id – Perdebatan soal penerapan royalti hak cipta musik kembali mengemuka. Kali ini suara kritis datang dari John Paul Ivan, gitaris legendaris band Boomerang, dalam konferensi pers Galaxy Run 2025 di Grand Galaxy City, Bekasi, Jumat (22/8).
Ivan menyambut baik langkah pemerintah membuat aturan tentang royalti dan mendirikan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) serta berbagai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Namun, menurutnya, Indonesia masih jauh tertinggal dalam sistem pendataan dan transparansi.
“Undang-undangnya sudah ada, lembaganya juga sudah ada. Masalahnya, sistemnya belum siap. Semua serba manual, tidak transparan, dan belum ada integrasi data yang jelas,” tegas Ivan.
Belajar dari Luar Negeri: Sistem Digital dan Satu Pintu
Ivan membandingkan dengan negara lain yang sudah lama menerapkan sistem digital satu pintu.
“Di Australia misalnya, semua lagu baru langsung masuk ke database nasional. Saat diputar di radio, kafe, atau televisi, otomatis tercatat dan ada hitungan royalti real-time. Satu lembaga, satu pintu, semuanya jelas,” ujarnya.
Sebaliknya, di Indonesia, menurut Ivan, terlalu banyak lembaga pengelola, data yang tumpang-tindih, hingga penagihan royalti yang sering membuat pelaku usaha terkejut.
“Kemarin ada kafe yang kaget ditagih sampai miliaran. Padahal sistemnya belum rapi. Lagu yang diputar saja tidak jelas terdatanya apa. Lalu penyaluran uangnya ke musisi bagaimana? Itu yang bikin absurd,” tambahnya.
Royalti Memang Wajib, Tapi Edukasi Dulu
Meski mengkritik sistem, Ivan menegaskan bahwa membayar royalti adalah kewajiban.
“Kalau di luar negeri, musisi submit dulu lagu apa saja yang akan dibawakan. Venue tinggal bayar sesuai lagu yang dipakai. Jelas hitungannya. Di Indonesia? Orang kaget karena aturannya mendadak. Padahal memang harus bayar. Ini bisnis, ada nilai ekonominya,” kata Ivan.
Namun, ia menekankan bahwa pemerintah dan LMK perlu melakukan edukasi ke masyarakat dan pelaku usaha sebelum memberlakukan aturan secara penuh.
“Jangan tiba-tiba dipukul rata tanpa sosialisasi. Sistemnya dibenahi dulu, edukasinya jalan, baru aturannya ditegakkan,” ujarnya.
Royalti Dapat, Tapi Rinciannya Misterius
Ivan juga mengungkapkan bahwa ia terdaftar di dua LMK dan menerima royalti setiap empat bulan. Namun, hingga kini ia tidak tahu detail perhitungannya.
“Saya dapat royalti, tapi rinciannya dari mana? Lagu yang diputar di mana saja? Berapa kali? Kita tidak pernah tahu. Jadi penerimaan ada, tapi transparansinya nol,” ungkapnya.
Menurutnya, polemik ini tidak akan selesai jika para pemangku kepentingan hanya saling menyalahkan. Ivan mendorong adanya diskusi serius antara musisi, pemerintah, LMKN, dan pelaku industri untuk membangun sistem royalti digital yang transparan dan terintegrasi.
“Tujuannya bagus, mensejahterakan musisi dan memajukan industri musik. Tapi kalau caranya masih seperti ini, ya Indonesia belum siap,” tutup Ivan.