Venomena.id – Tunjangan rumah para wakil rakyat kembali menuai sorotan tajam dari publik. Tak hanya di tingkat pusat, polemik ini juga menyeret DPRD kota maupun kabupaten yang dinilai terlalu “berani” menikmati fasilitas berlebih di tengah tekanan ekonomi masyarakat.
Di Kota Bekasi, perbincangan soal tunjangan rumah DPRD mendadak menghangat setelah beredarnya dokumen Peraturan Wali Kota Bekasi Nomor 81 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD. Dalam aturan tersebut, Pasal 19 mencatat jelas, Ketua DPRD berhak atas tunjangan rumah sebesar Rp53 juta per bulan, Wakil Ketua Rp49 juta, dan anggota DPRD Rp46 juta.
Jika dihitung harian, seorang Ketua DPRD bisa menerima sekitar Rp1,7 juta hanya dari tunjangan rumah. Jumlah itu belum termasuk gaji pokok dan tunjangan lain seperti transportasi yang juga tak kalah fantastis.
Kritik LSM: Wakil Rakyat Tak Peka
Sejumlah LSM di Kota Bekasi pun geram. Sekjen LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), Asep Sukarya, menyebut besaran tunjangan rumah itu sebagai bentuk ketidakpekaan wakil rakyat terhadap kondisi masyarakat.
“Semua anggota DPRD Kota Bekasi itu asli orang Bekasi, tinggal di Bekasi, punya rumah di Bekasi. Jadi apa urgensinya tunjangan rumah sampai puluhan juta per bulan? Ini jelas-jelas pemborosan dan tidak masuk akal,” tegas Asep.
Menurutnya, jika para wakil rakyat benar-benar peka, dana tunjangan tersebut bisa dialihkan untuk pembangunan sekolah dasar maupun menengah di Kota Bekasi yang kondisinya banyak memprihatinkan. “Coba bayangkan, satu orang Rp50 juta per bulan. Dikalikan 50 orang anggota DPRD, lalu dikalikan setahun. Itu bisa membangun banyak sekolah,” lanjutnya.
Usulan Solusi: Rumah Dinas untuk DPRD
Selain mendesak agar tunjangan rumah dievaluasi, muncul pula gagasan membangun rumah dinas khusus anggota DPRD. Dengan begitu, tidak ada lagi tunjangan sewa rumah, listrik, air, maupun fasilitas lain yang berulang kali dibebankan ke APBD.
“Lebih objektif kalau dibuatkan rumah dinas saja. Sekali bangun memang butuh anggaran besar, tapi setelah itu selesai. Tidak ada lagi tunjangan bulanan yang terbuang percuma. Anggarannya bisa lebih transparan dan efisien,” tambah Asep.
Skema rumah dinas ini sebenarnya sudah berlaku bagi sejumlah pejabat eselon dan aparat negara lainnya. Jadi, jika diterapkan untuk anggota DPRD, bukanlah hal baru. Justru akan menghilangkan polemik berulang soal tunjangan fantastis.
Sorotan Lebih Luas: DPRD Daerah Juga Harus Dievaluasi
Fenomena serupa bukan hanya terjadi di Bekasi. Hampir seluruh DPRD kota/kabupaten di Indonesia memberikan tunjangan rumah, padahal mayoritas anggotanya adalah orang asli daerah yang jelas-jelas sudah memiliki rumah di wilayahnya masing-masing.
Kondisi ini berbeda dengan DPR RI, di mana anggota dewan memang datang dari berbagai daerah sehingga membutuhkan tunjangan sewa rumah di Jakarta. “Kalau pun harus ada, semestinya disesuaikan dengan tarif maksimal sewa rumah di daerah masing-masing. Misalnya di Bekasi cukup Rp25 juta per tahun, bukan per bulan. Logika sederhana saja, ini bukan hanya tidak adil, tapi juga buang-buang uang rakyat,” kritik Asep.
Karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap tunjangan DPRD perlu dijadikan gerakan nasional. Bukan hanya di Bekasi, tetapi di seluruh kota dan kabupaten se-Indonesia.
Pandangan Pengamat Ekonomi: Harus Ada Standar Nasional
Dosen Fakultas Ekonomi dari salah satu kampus di Jakarta, Dr. Hendra Pratama, ikut menyoroti persoalan ini. Ia menilai, kebijakan tunjangan rumah yang kelewat besar menunjukkan lemahnya prinsip efisiensi dan akuntabilitas anggaran daerah.
“Ini soal keadilan fiskal. Di satu sisi pemerintah daerah gencar bicara efisiensi dan pengetatan anggaran, di sisi lain DPRD menikmati fasilitas jumbo. Jika dibiarkan, ini akan menurunkan legitimasi publik terhadap lembaga perwakilan rakyat,” jelas Hendra.
Menurutnya, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Keuangan perlu turun tangan dengan melakukan evaluasi nasional terhadap seluruh regulasi tunjangan DPRD. “Harus ada standar nasional yang rasional dan proporsional. Jangan sampai ada daerah yang membakar uang rakyat hanya demi memanjakan anggota dewan yang sebenarnya sudah mapan,” tambahnya.
“Kita butuh regulasi tegas dari pemerintah pusat. Kalau memang anggota DPRD butuh fasilitas, solusinya bisa berupa rumah dinas bersama, bukan tunjangan puluhan juta per bulan yang habis begitu saja,” jelasnya.
Menurutnya, dengan mekanisme rumah dinas, negara tetap memenuhi hak anggota DPRD, tetapi sekaligus mencegah pemborosan. “Ini soal akuntabilitas fiskal. Kita tidak bisa terus membiarkan APBD bocor lewat kebijakan yang tidak rasional,” tambah Hendra.
Ia juga mengingatkan, jika pemerintah daerah sibuk bicara efisiensi anggaran namun di saat bersamaan DPRD menikmati fasilitas jumbo, maka legitimasi publik terhadap lembaga perwakilan rakyat akan terus tergerus.
Publik Harus Ikut Mengawal
Polemik tunjangan DPRD ini tidak boleh berhenti di wacana. Dibutuhkan dorongan bersama dari masyarakat sipil, akademisi, hingga media massa untuk mengawal isu ini agar tidak sekadar menjadi heboh sesaat.
Harus disadari, di tengah situasi ekonomi rakyat yang sedang berat, kebijakan yang tidak peka hanya akan memperlebar jurang antara rakyat dan wakilnya. Tunjangan rumah DPRD yang mencapai puluhan juta per bulan jelas bukan hanya soal angka, tapi juga soal moralitas dan komitmen terhadap kepentingan publik.
Evaluasi menyeluruh atas tunjangan DPR dan DPRD, pada akhirnya, harus menjadi gerakan nasional demi menegakkan rasa keadilan dan menjaga kepercayaan rakyat terhadap institusi politik.