V News

Anak Pesantren Itu Kini Diam: Bertahun Disiksa Dan Jadi Korban Asusila, Ibu Hanya Bisa Menunggu Keadilan

144
×

Anak Pesantren Itu Kini Diam: Bertahun Disiksa Dan Jadi Korban Asusila, Ibu Hanya Bisa Menunggu Keadilan

Sebarkan artikel ini

Venomena.id – Di sebuah rumah di wilayah Pondok Aren, Bintaro, Tangerang Selatan, seorang ibu bernama S (42) duduk memandangi pintu kamar yang selalu tertutup. Di balik pintu itu, anaknya yang berusia 14 tahun, B, hampir setiap hari menghabiskan waktu tanpa suara. Tak ada lagi tawa kecil, tak ada lagi cerita sepulang sekolah. Yang tersisa hanya pandangan kosong dan tubuh yang sering menggigil saat teringat masa lalu.

Bukan karena sakit biasa. Trauma itu lahir dari tempat yang seharusnya menjadi rumah untuk menimba ilmu agama, Pondok Pesantren DAARUL ISHLAH, di Jl. Daarul Ishlah Kel. Pangung Rawi, Kec. Jombang Kota Cilegon, Provinsi Banten. Di sanalah, menurut cerita sang ibu, hidup B berubah selamanya.

 

Awalnya Biasa Saja, Lalu Semua Berubah

Saat pertama kali B mondok pada 2023, S masih mengingat betapa antusiasnya anak itu. “Dia anak yang rajin. Gak pernah ada masalah,” katanya. Tapi beberapa bulan kemudian, perubahan itu datang pelan-pelan, B menjadi pendiam, sensitif, mudah marah, dan sering memeluk dirinya sendiri seperti sedang kedinginan.

Awalnya S mengira ini hanya soal adaptasi. Sampai akhirnya, suatu malam, B menangis dalam tidur. Bukan tangis biasa tangis panjang yang seperti menahan rasa sakit.

“Di situlah saya tahu ada yang salah,” ucap S lirih, Kamis (20/11).

 

Pintu Kamar yang Tertutup: Awal Dari Semua Kekerasan

Menurut penuturan B kepada ibunya, kekerasan pertama terjadi September 2023. Saat berjalan ke kantin bersama temannya, korban dipanggil oleh seorang santri senior, berinisial P, dari kamar salah satu asrama SMA. P memaksa B masuk.

Baja juga:  Wali Kota Bekasi Tegaskan Antisipasi Pemberitaan Hoaks Media Sosial, Pentingnya Dinas Terkait Segera Berikan klarifikasi

Di dalam kamar, pintu dikunci. B didorong, dipukul, dicekik, hingga akhirnya terjadi pelecehan seksual dan asusila.

Berkali-kali B berusaha melepaskan diri, tapi tubuh kecilnya tak mampu melawan. B keluar kamar dengan tubuh gemetar dan trauma yang baru saja lahir.

 

Tahun Berikutnya, Kekerasan Terulang

Setahun berlalu. B masih mencoba bertahan, memendam semua yang terjadi. Namun pada September 2024, kejadian kedua menyusul. Saat menjalankan tugas mengantarkan makanan untuk santri yang sakit, B kembali dipanggil oleh senior lain berinisial K.

Korban sempat mencoba kabur, tapi ditarik dan dikurung di kamar. Di situlah, menurut S, B kembali dilecehkan.

Trauma itu semakin menumpuk, dan tubuh B semakin lemah menghadapi kenyataan. Tapi cerita tidak berhenti di situ.

 

Kekerasan Ketiga: Saat Korban Sedang Tidur

Pada Oktober 2024, B yang kelelahan setelah membersihkan kamar akhirnya tertidur. Dalam kondisi tertidur itulah, pelaku kembali melakukan tindakan asusila. B terbangun dalam keadaan tercekik ketakutan sekali lagi, tidak ada yang menolong.

Tak hanya kekerasan seksual, B juga mengaku pernah ditembak peluru karet oleh senior lain berinisial Z, hingga mengalami luka memar.

“Dia bilang, ‘Mah, mulut aku dibuka paksa.’ Saya waktu dengar itu… saya mau jatuh,” kata S dengan suara bergetar.

 

Ibu Berjuang, Tapi Pintu Pesantren Tertutup Rapat

Pada 19 Januari 2025, S mendatangi pondok pesantren itu. Tujuannya sederhana: meminta penjelasan, meminta pertanggungjawaban, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada anaknya.

Namun yang ia dapatkan hanyalah penundaan. S menunggu hingga tengah malam, tapi tidak pernah dipertemukan dengan pihak pelaku maupun pimpinan pondok.

Baja juga:  Sah, DPP Gerindra Resmi Dukung Tri Adhianto Maju di Pilkada Kota Bekasi

Beberapa kali ia mencoba menghadap, beberapa kali juga ia merasa dihalangi.

“Waktu itu saya pulang dengan badan gemetar. Saya rasa mereka tutupi semuanya,” ujarnya.

 

Laporan Demi Laporan, Tahun Berganti Tanpa Jawaban

Tidak tinggal diam, S kemudian melapor ke Kementerian Agama, KPAI, hingga akhirnya membuat laporan polisi pada akhir Maret 2024. Namun proses hukum berjalan lambat. Bahkan, menurut S, banyak unsur kekerasan yang tidak dimasukkan ke dalam berita acara pemeriksaan.

“Pemukulan tidak dimasukkan. Penembakan pakai peluru karet tidak dimasukkan,” ungkap S. “Katanya nanti disampaikan di pengadilan. Tapi kenapa semuanya seperti dipangkas?” ujar S.

Bagi S, perjalanan hukum itu seperti berjalan sendirian di lorong yang gelap.

 

Setahun Kemudian: Tuntutan Hanya Tiga Tahun

Baru pada Oktober 2025, berkas perkara pelaku K dinyatakan lengkap (P21). Jaksa menuntut pelaku dengan hukuman tiga tahun penjara.

S tidak sanggup menahan kekecewaannya. “Anak saya disiksa bertahun-tahun. Traumanya mungkin seumur hidup. Masak cuma tiga tahun?” ujarnya dengan mata berlinang.

Sementara itu, dua pelaku lain yang diduga terlibat kekerasan fisik disebut tetap menjalani sekolah seperti biasa sebelum akhirnya ikut diproses setelah laporan berkembang.

 

B Yang Sekarang: Diam, Menarik Diri, Takut Tidur Sendirian

Kini, B tidak lagi bersekolah di pesantren. Pendidikan dialihkan ke program paket karena kondisi psikologisnya tidak memungkinkan untuk masuk sekolah umum.

Di rumah, B lebih sering berada di kamar. Lampu kamar sering dibiarkan menyala sampai pagi karena trauma dan takut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *