Venomena.id – Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid, SH menilai bahwa putusan Dewan Kehormatan penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait sanksi terhadap KPU yang meloloskan pasangan calon Prabowo Gibran dianggap tidak memiliki implikasi konstitusional apapun.
“Dengan menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, karena melanggar kode etik terkait proses pendaftaran capres-cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan syarat batas usia peserta Pilpres, tidak mempunyai implikasi konstitusional serta hukum apapun terhadap pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka,” jelas Fachri Bachmid, dalam keterangannya pada awak media, di Jakarta, Selasa 6 Februari 2024.
Dewan Kehormatan Penyelenggara PEMILU Republik Indomesia(DKPP) diketahui telah mengeluarkan Putusan dalam perkara Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023 Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023.
“Eksistensi sebagai (legal subject) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional serta legitimate,” tambah Fahri.
Lebih jauh Fahri Bachmid menilai, dalam membaca Putusan DKPP ini harus dilihat pada dua konteks yang berbeda, yaitu pertama status konstitusional KPU sebagai subjek hukum yang diwajibkan “legal obligation” untuk melaksanakan perintah pengadilan yaitu Putusan MK Nomor 90/PUU- XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 sebagaimana mestinya,
“Dan yang kedua adalah bahwa dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi “a quo” tindakan Para Teradu (KPU) dianggap tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, sehingga ber konsekuwensi terjadi pelanggaran etik,” terangnya lagi.
Fahri Bachmid menguraikan bahwa DKPP dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah produk hukum yang mengikat bagi KPU selaku pemangku kepentingan.
Hal ini didasarkan pada ketentuan norma Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditegaskan kembali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011.
Dikatakan Fahri, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, KPU selaku subjek hukum tata negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melaksanakan Putusan MK sebagaimana mestinya, sehingga dengan demikian dari aspek hukum tata negara tindakan KPU menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi.
Fahri Bachmid berpendapat bahwa dalam pertimbangan yuridis Putusan DKPP mengatakan bahwa dalam melaksanakan Putusan MK, tindakan KPU selaku teradu tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu, artinya KPU seharusnya segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Tetapi pada hakikatnya itu merupakan ranah etik yang tentunya dapat dinilai secara etik sesuai Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu,” tutup Fahri.
(rdk/rdk)