Opini Oleh :
Aznil Tan (Aktivis 98)
Ada kejutan tak terduga pada Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang dihelat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Januari 2024 kemarin. Debat cawapres ini semula diprediksi akan berlangsung normatif, ternyata di luar ekspektasi.
Publik pun puas dan mencapai klimaksnya. Meski masih ada tersisa satu putaran lagi Debat Pilpres terakhir akan dilakukan oleh para Capres, sepertinya pemilih sudah cukup untuk bisa menilai mana pasangan capres-cawapres yang pantas memimpin bangsa dan negara Indonesia selanjutnya dari ketiga kandidat tersebut.
Pada debat sebelumnya yang sudah berlangsung tiga kali, publik belum bisa menyimpulkan penilaiannya secara signifikan pada sosok Capres-cawapres yang akan dipilih. Namun setelah menyaksikan debat keempat, pemilih rasional dan pemilih bimbang (undecided voters) sudah mendapat tolak ukur.
Bahwa pemilih rasional dan pemilih bimbang adalah penentu kemenangan pasangan Capres-cawapres terpilih pada Pilpres 2024. Perlu diketahui, berdasarkan hasil riset Algoritma pada 19 – 30 Desember 2023 terdapat pemilih rasional sebanyak 43 persen.
Sementara, berdasarkan hasil Survei Litbang Kompas pada 29 November-4 Desember 2023, pemilih bimbang sebesar 28,7 persen
Pada data lain, hasil survei Poltracking pada 28 Oktober – 3 November 2023 ditemukan sebanyak 37,6 persen masyarakat masih berpotensi mengubah pilihan pada Pilpres 2024.
Untuk mendapatkan suara rasional dan suara bimbang ini sangat kuat ditentukan performa debat cawapres. Bukan debat pada Capresnya. Sebuah fenomena menarik di Pilpres 2024 ini.
Kenapa pemilih rasional dan pemilih bimbang menjadikan Debat Cawapres kedua ini sebagai penentu akhir dalam menentukan pilihannya pada pemungutan suara Pilpres pada tanggal 14 Februari 2024 nanti?
Karena ada sosok Cawapres bernama Gibran Rakabuming Raka yang merupakan anak sulung Presiden RI Jokowi yang sedang berkuasa pada saat berlangsungnya Pilpres 2024.
Sebagaimana diketahui bersama, kehadiran Giibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres telah menimbulkan kegaduhan politik yang cukup fundamental. Aksi protes mahasiswa dan kelompok pro demokrasi melakukan protes keras.
Pencawapresan anak Jokowi diprotes karena melanggar etika, dan norma demokrasi serta prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Jokowi dikecam melakukan praktek nepotisme dan politik dinasti pada pencawapresan anaknya.
Sisi lain, pengalaman anak Jokowi, Giibran masih dinilai minim maka diragukan kemampuannya dalam mengelola negara Indonesia yang besar dan persoalannya yang sangat complicated.
Karena pencawapresan Giibran sudah sah secara norma hukum meski ada kejanggalan proses dalam meloloskan anak Jokowi bisa mencawapres dengan terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka publik ingin mengetahui kualitas anak Jokowi tersebut pada Debat Pilpres.
Publik ingin menguji tesis selama ini, benarkah seseorang lahir dari hasil nepotisme merupakan sosok yang kurang memiliki kualifikasi dan kemampuan, selain membunuh rasa keadilan, memicu ketidakpuasan, dan menghambat perkembangan yang adil dalam suatu pemerintahan?
Keingintahuan publik begitu besar tersebut makanya Debat Cawapres menjadi Debat Pilpres yang mendapat perhatian besar dan atensi khusus dari masyarakat banyak. Debat Cawapres ini mengalahkan antusias masyarakat daripada Debat dilakukan Capres.
Terlepas pro-kontra hasil rilis jajak pendapat berbagai lembaga survei menyampaikan sentimen positif atau negatif pada debat cawapres pertama yang dihelat tanggal 22 Desember 2023 kemarin, namun publik masih penasaran mengetahui lebih dalam kualitas Giibran lebih lanjut sebagai Cawapres.
Gibran sangat menentukan pilihan pemilih rasional dan bimbang juga karena menyangkut kesehatan Capresnya, Prabowo Subianto yang Kesehatannya kurang baik. Apakah Giibran mampu menggantikan Prabowo jika seandainya berhalangan.
Hal inilah membuat daya tarik tersendiri dari masyarakat banyak untuk mengikuti Debat Cawapres kedua yang bertema “pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa”.
Biasanya, pemilih rasional dan pemilih bimbang ada tiga parameter untuk menentukan pilihannya pada pasangan Capres-cawapres pada saat Debat Pilpres. Yaitu , penampilan fisik, kualitas materi dan kepribadian atau adab.
Sebagai catatan, bahwa pemilih rasional cenderung menilai pasangan Capres-cawapres berdasarkan kualitas materi, seperti rencana kebijakan, pengalaman, dan prestasi yang terukur. Begitu mengukur kecerdasan emosional atau adab merupakan faktor yang sangat penting untuk mengukur kemampuan pemimpin dalam berinteraksi secara positif dengan masyarakat dan aparatur negara.
Sedangkan, pemilih bimbang cenderung dipengaruhi sifat subjektif, seperti penampilan fisik dan faktor emosional. Meskipun begitu tetap terbuka untuk penilaian dan analisis yang lebih mendalam. Masih terbuka ruang bagi mereka untuk melakukan evaluasi yang lebih rasional terhadap kualitas dan kompetensi pasangan Capres-cawapres.
Penampilan Fisik
Parameter penampilan fisik dalam debat sangat kuat mempengaruhi pemilih rasional dan pemilih bimbang. Tolak ukur pada umumnya adalah berupa tampil penuh percaya diri, berkata tidak terbata-bata dan tanpa mengunakan teks yang ditulis serta kostum.
Jika ciri-ciri penampilan fisik tersebut terpenuhi, maka masyarakat umum akan menilai debater tersebut berperforma baik, bahkan mendapat apresiasi tinggi. Meski substansi materi disampaikan oleh debater tidak berkualitas dan asal bunyi (asbun).
Hal ini dimanfaatkan oleh Giibran. Dia tampil percaya diri. Pada penyampaian visi-misi pada segmen pertama, Giibran maju kedepan panggung meninggalkan podiumnya.
Meski tindakan dilakukan Calon wakil presiden nomor urut 2 itu merupakan hal melanggar aturan, dia tetap maju ke panggung tanpa tanpa merasa bersalah. Gibran tahu bahwa debater piawai di mata kelayak umum itu adalah sosok yang tampil lincah di panggung dengan percaya diri.
Hal itu juga dia lakukan pada Debat Cawapres pertama tanggal 22 Desember 2023. Dia bahkan bergerak lebih agresif. Dia bukan saja meninggal panggung juga mendekati podium lawan debatnya.
Tindakannya itu ternyata berbuah hasil, meski dilarang tapi berhasil membuat publik terkesima pada penampilan Giibran tersebut. Tim buzzer pun bergerak memberi hastag, dikira cupu ternyata suhu.
Dia pun menyampaikan visi-misinya pada segmen pertama debat dengan lancar tanpa melihat teks. Dia tahu publik tidak tertarik pada debater melihat naskah.
Hal ini sangat dilakukan oleh debater yang fokus mempersiapkan materi. Konsultan politik akan mempersiapkan materi dan kata-kata kunci dalam topik debat yang akan dibahas. Sedikit latihan dan menghafal narasi prolog bisa tampil baik pada segmen pertama.
Namun persepsi publik tersebut diabaikan oleh cawapres nomor urut 1 dan 3. Muhaimin dan Mahfud memaparkan pemikirannya dengan melihat catatan yang berada di meja podiumnya.
Untuk memperkuat performanya tersebut dimanfaatkan oleh Giibran pada segmen kedua, saat menanggapi pernyataan Muhaimin Iskandar dalam pemaparan soal isu pertanian dan kelangkaan pupuk. Dia menyindir Muhaimin Iskandar menjawab sambil “baca catatan”. Hal itu dilakukan Gibran .
“Enak banget ya Gus ya, jawabnya sambil baca catatan tadi,” ucap Gibran sambil tersenyum
Pada kostum, Gibran tampil dengan gimmick anime berupa jaket dengan simbol klan Uzumaki dari anime Naruto.
Penampilan Gibran sebagai Naruto untuk menarik pemilih dari kalangan generasi milenial dan gen Z. Kedua generasi ini mendominasi pemilih Pemilu 2024, yakni sebanyak 56,45 persen dari total keseluruhan pemilih.
Kualitas Materi
Kualitas materi dipaparkan oleh debater dalam forum debat sesungguhnya merupakan substansi dalam sebuah debat. Mengukur seberapa jauh dia menguasai persoalan dan gagasannya dalam menjawab persoalan.
Namun sayang, debat pilpres bukan lah mengukur keilmihan dan kerasionalan atau ketepatan gagasan yang ditawarkan. Yang menilai adalah publik.
Adapun tanggapan, baik berupa tulisan maupun lisan yang mengupas kerasionalan dan realitas materi disampaikan oleh debater akan cenderung dikategorikan sebagai pendapat subjektif. Makanya cawapres tidak berkualitas sekalipun masih aman.
Selagi dia tidak gugup dan terbata-bata menjawab pertanyaan dari panelis dan lawan debat, publik awam tidak mempersoalkannya dan malah dianggap orang yang menguasai materi isu.
Dalam debat itu dikenal seni retorika. Meski materi disampaikan asbun (asal bunyi) tapi dengan teknik retorika akan menghilangkan sentimen negatif dari publik atas materi yang disampaikan substantif atau tidaknya.
Anak sulung presiden Jokowi ini pun dengan cerdik memutar balik keadaan. Dia melakukan serangan balik. Cawapres nomor urut 2 ini langsung mendeclare bahwa cawapres 1 dan 3 jawabannya tidak menyambung.
Hal itu bukan saja dilakukan dengan ucapan bahkan ia melakukan personifikasi seperti orang yang mencari-cari dengan meletakkan tangannya ke atas jidat. Gibran menyebut bahwa ia mencari-cari jawaban dari Mahfud tetapi tak ketemu.
Gibran juga berkali-kali mengulang soal Cak Imin yang melihat catatan dan terlalu tegang dalam berdebat. Pada Mahfud juga dituding mengantuk saat debat cawapres 2024.
Perdebatan semakin panas dan sengit. Mahfud MD membalasnya pertanyaan Giibran recehan dan tidak layak dijawab. Begitu juga Muhaimin Iskandar membalas ejekan Giibran dengan mengatakan bahwa jawaban mengulang pernyataannya.
Muhaimin Iskandar dipanggil Cak Imin pun sebut catatan dia lihat tak ‘mencontek’ catatan Mahkamah Konstitusi (MK). Ini merupakan sindiran tajam pada pada proses pencawapresan Giibran yang menabrak konstitusi.
Sebagaimana diketahui, umur Giibran yang belum cukup 40 tahun sebagai syarat Capres-cawapres ditentukan undang-undang, namun hasil keputusan Ketua MK Anwar Usman berhasil mengolkan Giibran bisa ikut berkompetisi pada gelanggang Pilpres. Sementara Ketua MK Anwar Usman adalah paman Giibran.
Dalam debat sah-sah saja dilakukan dan tidak ada larangan. Selagi jawaban dan gagasan disampaikannya konkrit dan visioner serta dilakukan dengan cara yang tepat maka tindakan tersebut bisa menjadi perdebatan yang menarik dan mencerahkan.
Pada gagasan ditawarkan oleh para Cawapres belum muncul kebijakan-kebijakan terobosan dan konkret dari para cawapres. Meskipun begitu, materi gagasan disampaikan oleh Mahfud Md dan Cak Imin lebih baik dibandingkan Gibran. Materi disampaikan Gibran asbun dan cenderung berkesan hafalan.
Begitu juga dalam mengajukan pertanyaan. Gibran masih berprilaku seperti acara cerdas-cermat. Meski sudah dilarang oleh KPU ketentuan mengunakan istilah, tapi Gibran masih mengulang peristiwa seperti debat pertama Cawapres.
Orang yang membuat pertanyaan yang bersifat teknis dan mengungkapkan istilah-istilah yang miskin narasi latar belakang adalah merupakan kemiskinan dalam berintelektual.
Kepribadian dan Adab
Dalam debat Pilpres, publik juga membaca kepribadian para kandidat capres dan cawapres. Parameter ini bisa mengalahkan dua parameter diatas.
Publik ingin tahu, calon pemimpin yang akan berkuasa nanti tentang kepribadiannya dan kewibawaannya. Apakah calon pemimpin tersebut orang yang bijak dan memiliki kecerdasan emosional yang bagus?
Pada umumnya, preferensi kepribadian yang disukai oleh publik pada sosok presiden dan wakil presiden adalah sifat-sifat kepribadian yang memiliki kejujuran, adab yang santun, keberanian, empati, serta memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Kepemimpinan yang kuat seperti karisma dan ketegasan juga sangat dihargai publik.
Tingkah-lakunya dalam debat yang over confidence menimbulkan sentimen negatif dari publik. Indonesia yang masih kental adat ketimuran yang menghargai orang tua. Gibran yang masih muda dianggap sinis pada lawan politiknya.
Konyolnya lagi, sifat sinisme tersebut dilakukan secara kekanak-kanakan. Dia melakukan personifikasi untuk mengejek lawannya debatnya.
Mahfud MD akhirnya menangapi sikap Giibran tersebut dengan mengatakan recehan dan tidak layak dijawab.
Cak Imin pun menyindir tingkah Giibran tersebut tidak beretika. Etika menjadi prinsip dalam lingkungan, termasuk berdiskusi. Cak Imin bilang levelnya Capres-cawapres adalah policy dan kebijakan bukan melakukan tebak-tebakan singkatan
Gibran pun dalam forum debat pun menyebut orang yang menjadi bagian dari tim sukses capres dan cawapres nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar itu kerap membuat kebohongan publik karena menyebut Tesla tidak menggunakan nikel untuk kendaraan berbasis baterai listriknya.
Dia lalu menuding peran Thomas Lembong yang memberi contekan pertanyaan untuk Cak Imin agar bisa ditanyakan kepadanya.
Banyak perilaku-perilaku lain dilakukan Giibran yang mengejutkan publik. Semua itu membongkar kepribadian Giibran di depan publik.
Kejutan Perilaku Songong
Perilaku kepribadian Giibran dalam debat keempat Pilpres 2024 atau debat kedua cawapres ini menjadi kejutan publik dan diluar ekspektasi. Dari tiga parameter diatas, parameter kepribadian menjadi tolak ukur yang sangat tinggi menentukan para pemilih menentukan pilihannya.
Sikap Gibran sontak menjadi perlawanan di media sosial. Banyak warganet di media sosial menilai bahwa Gibran adalah seseorang yang songong, cringe hingga tengil. Kata kunci songong bersamaan dengan nama Gibran menjadi trending topik di media sosial X (dulu Twitter).
Songong” adalah perilaku atau sikap seseorang yang tampak angkuh, arogan, atau terlalu percaya diri, seringkali dengan sikap superioritas atau meremehkan orang lain. Orang yang bersikap songong cenderung menunjukkan kelebihan diri dan kurang memperhatikan atau menghargai orang lain. Perilaku ini dapat mencerminkan kurangnya kesopanan atau empati dalam interaksi sosial, terutama dalam budaya ketimuran.
Berdasarkan data analis media sosial Drone Emprit melakukan pemantauan di X periode Minggu (21/1) pukul 19.00-22.00 WIB.
Gibran mendapat sentimen negatif terbesar, yakni 60 persen. Sementara, sentimen positifnya 33 persen, dan sentimen netral 7 persen.
Sementara Mahfud meraih sentimen negatif 12 persen, jauh dibanding sentimen positifnya yang mencapai 79 persen, dan 7 persen sisanya netral.
Sedangkan, Muhaimin Iskandar menjadi sosok yang paling kecil meraih sentimen negatif, yakni hanya 6 persen. Ia mencatat sentimen positif terbesar dengan 80 persen, dan 14 persen lainnya netral.
Dari personifikasi dan ejekan dilakukan Giibran kepada Mahfud MD dan Cak Imin, pemilih mendapat kesimpulan bahwa dia masih kekanak-kanakan dan sinis pada lawan politiknya. Dia belum matang dalam mengelola kecerdasan emosionalnya.
Kepribadian seperti itu sangat berbahaya dalam memimpin negara Indonesia yang demokratis dan beragam karakter masyarakat.
Disinilah pemilih yang rasional yakin bahwa Giibran bukanlah sosok yang sudah matang dalam memimpin Indonesia.