V News

Geger di MTsN 1 Kota Bekasi! Sumbangan Rp2,8 Juta Picu Kelas Tak Bayar 7.7 Tak Berfasilitas, Orang Tua Menjerit

52
×

Geger di MTsN 1 Kota Bekasi! Sumbangan Rp2,8 Juta Picu Kelas Tak Bayar 7.7 Tak Berfasilitas, Orang Tua Menjerit

Sebarkan artikel ini

Venomena.id – Awalnya hanya sebuah surat edaran tahunan yang dianggap rutinitas biasa. Tapi siapa sangka, kebijakan Sumbangan Awal Tahun (SAT) di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kota Bekasi justru berubah menjadi bara yang membakar emosi banyak orang tua murid.

Kewajiban membayar sumbangan sebesar Rp2,8 juta per siswa yang ditetapkan dalam rapat komite 2 Agustus 2025, kini menuai protes keras. Pasalnya, di balik angka itu terselip kebijakan yang dianggap tidak manusiawi dan diskriminatif pemisahan kelas berdasarkan kemampuan bayar.

Kelas 7.7 Simbol Ketimpangan Baru di Sekolah Negeri

Dalam surat resmi Komite MTsN 1 bernomor 06/KM/MTsN1/08/2025, dijelaskan bahwa sumbangan awal tahun itu digunakan untuk program peningkatan mutu seperti pengadaan AC, perbaikan listrik, cat ruang, CCTV, hingga LDKS dan perkemahan pramuka.
Namun, tak lama berselang, beredar pesan WhatsApp dari Ketua Komite kepada para orang tua.

Bunyinya lugas sekaligus mengiris, “Untuk yang belum memenuhi pembayaran SAT, akan dipisahkan dan digabungkan di kelas 7.7. Dan kelas 7.7 nanti apabila sudah digabungkan, tidak menerima fasilitas apapun.”

Kalimat itu langsung menjadi bola panas. Wali murid yang awalnya diam kini bersuara lantang. “Ini jelas pemaksaan. Sekolah negeri harusnya jadi ruang inklusif, bukan ajang pemilahan berdasarkan isi dompet,” ujar salah satu wali murid dengan nada geram, Selasa (14/10).

Baja juga:  Kabel Semrawut di Jalan Chairil Anwar Bekasi Bahayakan Pengguna Jalan

Beberapa orang tua bahkan menilai kebijakan itu menanamkan stigma sosial sejak dini. Anak-anak dari keluarga mampu akan belajar di kelas ber-AC dengan fasilitas lengkap, sementara yang belum mampu ditempatkan di kelas khusus tanpa fasilitas.

“Coba bayangkan perasaan anak-anak kami. Mereka bisa merasa malu, minder, bahkan dijauhi teman-temannya,” kata seorang ibu wali murid yang datang ke sekolah bersama beberapa orang tua lain.

Sumbangan atau Pungutan Terselubung?

Secara resmi, Komite Madrasah menyebut sumbangan ini bersifat sukarela. Namun, kenyataannya, pesan ancaman yang beredar justru menunjukkan sebaliknya. Orang tua yang belum mampu membayar seolah ditekan dengan ancaman pemindahan kelas.

“Kalau memang sukarela, mengapa ada ancaman fasilitas dicabut? Ini namanya pungutan terselubung,” kritik salah satu pemerhati pendidikan di Bekasi.

Kecurigaan makin menguat karena mekanisme keringanan bagi siswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan siswa tidak mampu tidak dijelaskan secara transparan. Banyak orang tua mengaku tidak tahu cara mengajukan keringanan, bahkan ada yang merasa diabaikan.

“Anak saya penerima KIP, tapi tetap diminta ikut bayar dengan alasan program mutu sekolah. Kami bingung harus mengadu ke siapa,” ujar seorang ayah yang anaknya kini duduk di kelas VII.

Diamnya Sekolah dan Komite, Ramainya Orang Tua

Hingga berita ini diturunkan, pihak MTsN 1 Kota Bekasi maupun Komite Madrasah belum memberikan tanggapan resmi. Upaya konfirmasi yang dilakukan sejumlah jurnalis pun belum membuahkan hasil.

Baja juga:  Sosoknya Sering Diserang, Pengamat Publik: Tri Adhianto Kian Diatas

Sementara itu, protes dari orang tua terus meluas. Beberapa perwakilan wali murid bahkan telah melaporkan kasus ini ke Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan (KPAD) Kota Bekasi.

Ketua KPAD Kota Bekasi, yang dikonfirmasi secara terpisah, menyebut pihaknya tengah mempelajari laporan tersebut. “Kami akan minta klarifikasi ke pihak sekolah dan komite. Prinsipnya, anak tidak boleh jadi korban atas kebijakan yang sifatnya administratif atau finansial,” ujar Novrian.

Cermin Buram Dunia Pendidikan Negeri

Kasus MTsN 1 Kota Bekasi menambah daftar panjang persoalan pungutan di sekolah negeri. Di atas kertas, seluruh biaya pendidikan di sekolah negeri sudah ditanggung pemerintah melalui BOS dan DIPA, namun praktik di lapangan sering kali berbicara lain.

Pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang kesetaraan, justru terkotori oleh praktik yang menciptakan kelas sosial baru di antara siswa. “Jangan sampai madrasah negeri ikut menanam benih ketidakadilan sejak bangku sekolah,” kata aktivis pendidikan, yang tak mau disebutkan namanya.

Kini, semua mata tertuju pada Kelas 7.7 bukan karena prestasinya, tapi karena simbol perlawanan orang tua terhadap sistem pendidikan yang kian jauh dari semangat keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *