Venomena.id – Kisruh pencairan dana konsinyasi lahan Tol Jatikarya sebesar Rp 218 miliar, masih terus berlanjut. Uang ganti rugi yang semestinya sudah dibayarkan ke ahli waris, saat ini masih tertahan di PN Kota Bekasi.
Tidak dikeluarkannya surat rekomendasi dari ATR BPN Kota Bekasi, menjadi alasan utama mandeknya pencairan ganti rugi yang sudah dititipkan Kementerian PUPR di pengadilan.
Pihak ahli waris pun merasa dipersulit, karena merasa sudah memenuhi semua persyaratan yang diajukan Kementerian PUPR.
Adapun tiga syarat yang dimaksud, yakni kesepakatan penyelesaian (dading) atau musyawarah dari para termohon. Kedua, salah satu pihak sudah memenangkan perkara dan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Dading itu tidak mungkin untuk pihak kami, karena yang kami gugat pokok perkara hanya ada tiga, Kakanwil BPN Jabar, Kepala BPN Kota Bekasi (dulunya kabupaten), pemegang hak atau Dephan (sekarang Kemenhan). Kami pun sudah berkekuatan hukum tetap,” kata Mulyadi, kuasa ahli waris Nyai Dewi binti Botak kepada Megapolitan.id, Senin (28/8/2023).
Sedangkan syarat ketiga, yakni surat pengantar dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) Kota Bekasi, yaitu Kepala Kantor ATR BPN Kota Bekasi, dalam hal ini Amir Sofwan.
Namun ketika dikonfirmasi kepada yang bersangkutan, Mulyadi menyebut adanya imbauan lain yang diajukan oleh Kepala Kantor ATR BPN Kota Bekasi, yang membuat masalah ini menjadi blunder.
“Pada saat saya sowan bertemu dengan Kepala Kantor ATR BPN Kota Bekasi, beliau (Amir Sofwan) menyarankan, ada empat masalah yang harus kami selesaikan,” ujar Mulyadi.
Menurutnya, persyaratan yang diberikan antara lain membatalkan SK sertifikat hak pakai nomor 1 Jatikarya di ATR BPN Kanwil Jawa Barat, membatalkan sertifikat hak pakai nomor 1 Jatikarya di ATR BPN Kota Bekasi.
“Ketiga adanya penghapusan dari Investigasi Kekayaan Negara (IKN) Kemenkeu, keempatnya bila dibutuhkan adanya penyerahan atau pelepasan dari Dephan. Padahal itu semua tidak termasuk dalam syarat konsinyasi yang dimohonkan oleh Kementerian PUPR,” ungkapnya.
“Nah, kami mendapatkan informasi, kok Kepala Kantor BPN Bekasi Kota ini membuat statement lain di luar persyaratan. Juga sekarang malah dilimpahkan ke Dephan atau Kemenhan,” ucap Mulyadi.
Pihaknya menilai masalah ini sepatutnya sudah bisa terselesaikan dengan mudah karena ahli waris yang sah, dalam hal ini ibunda Nyai Dewi binti Botak, sudah memenangkan gugatan dan putusannya pun inkrah.
Namun melihat fakta, bahwa perkara ini menjadi dipersulit dengan sejumlah pernyataan lain yang diajukan Kepala Kantor ATR BPN Kota Bekasi, pihak ahli waris pun merasa ada kejanggalan.
“Cuma blunder ini ada apa? Apakah memang disini, kita bisa berasumsi boleh-boleh saja, adanya mafia pertanahan, mafia hukum dan lain-lain, tanda kutip lah di belakangnya ada siapa. Karena masalah yang mudah, kok dibuat sulit,” paparnya.
Mulyadi beranggapan jika pihak ATR BPN Kota Bekasi telah melawan hukum lantaran tidak segera mengeksekusi apa yang menjadi keputusan Kementerian PUPR atas hak ahli waris.
“Sama sekali tidak ada alasan lagi, harus segera keluarkan surat pengantar, dalam arti rekomendasi kepada PN Kota Bekasi atas pencairan dana konsinyasi yang dimaksud. Karena PUPR sendiri membutuhkan itu karena harus bersertifikat, harus ada pelepasan hak sebagai aset yang dibeli,” tegasnya.
“Jadi saya rasa, masalahnya simpel, mudah, tapi kenapa jadi sulit. Harusnya kita semua, saya harap media juga bisa membongkar apa sih tabirnya ini menjadi, katakanlah blunder masalah. Apalagi timbul pendemo-pendemo. Kami tidak pernah mau berdemo, kami tidak pernah mau macam-macam, kami tetap taat dengan hukum,” tandasnya.
(wks/wks)