Venomena.id – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi melayangkan protes keras terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mewajibkan sekolah menyerahkan ijazah secara sukarela kepada seluruh siswa. Protes ini disampaikan dalam forum audiensi di Kantor DPRD Jawa Barat, Rabu (21/5).
Audiensi tersebut melibatkan sejumlah pihak, mulai dari jajaran pengurus PCNU, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU), Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), hingga perwakilan pesantren dari berbagai wilayah di Jawa Barat.
Dalam pertemuan itu, para peserta diterima langsung oleh pimpinan DPRD Jawa Barat, Acep Jamaludin, dan anggota Fraksi PKB, Rohadi. Mereka menyampaikan keberatan terkait dampak serius kebijakan tersebut terhadap pesantren dan lembaga pendidikan swasta.
Ketua PCNU Kabupaten Bekasi, KH Atok Romli Mustofa, menyampaikan kekhawatirannya. “Kebijakan ini tidak berpihak pada pesantren, bahkan kami menilai ini adalah tindakan zalim. Tidak ada kajian komprehensif, tidak melibatkan pihak terkait, dan lebih terkesan spontan serta intimidatif,” ujarnya pada Kamis (22/5).
KH Atok juga menegaskan bahwa kebijakan tersebut menimbulkan keresahan di kalangan pesantren. Ia menyebut, ada ancaman bahwa pesantren yang menolak menyerahkan ijazah tidak akan menerima Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) dan bisa kehilangan izin operasional.
Padahal, lanjutnya, operasional pesantren sangat bergantung pada biaya yang dikumpulkan secara mandiri.
“Berbeda dengan sekolah negeri yang pembiayaannya ditanggung pemerintah, pesantren mendidik santri 24 jam sehari dengan dana sendiri. Beban ini sangat berat,” tegasnya.
Hal senada disampaikan KH Kholid dari Pondok Pesantren Yapink Pusat. Ia menilai kebijakan tersebut akan menghambat keberlangsungan operasional pesantren, bahkan berpotensi memunculkan konflik antara santri dan lembaga.
“Banyak alumni yang kini datang menuntut ijazah berdasarkan arahan Gubernur, padahal mereka masih punya tanggungan ke pesantren. Jika pesantren terus dipaksa menyerahkan ijazah tanpa kejelasan, ini akan mengganggu proses pendidikan,” tuturnya.
Lebih jauh, KH Kholid mengingatkan soal dampak jangka panjang berupa degradasi akhlak.
“Jika santri merasa bisa menuntut hak tanpa memenuhi kewajiban, bagaimana mereka akan belajar tanggung jawab? Ini berbahaya bagi masa depan generasi bangsa,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua BMPS Kabupaten Bekasi, H. M. Syauqi, menyatakan kebijakan ini tidak partisipatif dan mengabaikan realitas pendidikan di lapangan. “Pemerintah memang wajib menyediakan pendidikan gratis, tapi apakah mereka mampu melakukannya tanpa bantuan swasta, khususnya pesantren? Saya yakin tidak,” ujarnya.
Menurut Syauqi, pesantren bukan hanya institusi pendidikan, tapi juga bagian dari jati diri bangsa.
“Data menunjukkan, pemerintah hanya bisa menyediakan pendidikan gratis untuk 25–35 persen populasi. Selebihnya, peran sekolah swasta sangat besar,” paparnya.
Ia menutup dengan mengingatkan bahwa tanpa keterlibatan dan dukungan pada pesantren, masa depan pendidikan nasional bisa terganggu secara serius.