V News

Siswa Pesantren Jadi Korban Asusila Dan Kekerasan Kakak Tingkat

102
×

Siswa Pesantren Jadi Korban Asusila Dan Kekerasan Kakak Tingkat

Sebarkan artikel ini

Venomena.id – Keluarga santri S (42) akhirnya angkat suara setelah anaknya, B (14), diduga mengalami serangkaian kekerasan fisik hingga pelecehan seksual di Pondok Pesantren DAARUL ISHLAH, yang beralamat di Jl. Daarul Ishlah Kel. Pangung Rawi, Kec. Jombang Kota Cilegon, Provinsi Banten. Kasus ini mencuat setelah ibu korban mengadukan kejadian tersebut ke berbagai lembaga, mulai dari Kementerian Agama, KPAI, hingga berujung pada pelaporan resmi ke Polres Cilegon.

Menurut penuturan S, anaknya yang berinisial B, santri kelas 4 Ibnu Sina, mengalami perubahan sikap drastis sejak masuk pesantren pada 2023. Dari anak yang periang, B berubah menjadi pendiam, mudah tersinggung, dan sering mengurung diri di kamar.

 

Kronologi Kekerasan Berulang

S menjelaskan bahwa dugaan kekerasan pertama terjadi pada September 2023, ketika B dipanggil oleh seorang senior berinisial P di asrama tingkat SMA. Korban yang kala itu tengah menuju kantin bersama temannya dipaksa masuk ke kamar pelaku. Di dalam kamar, B didorong, dipukul, dicekik, hingga mengalami kekerasan seksual oleh P.

Peristiwa kedua terjadi setahun kemudian, September 2024, saat B mendapat tugas mengantarkan makanan kepada santri yang sedang sakit. Pelaku berinisial K, kembali melakukan pelecehan kepada korban. B bahkan sempat berusaha melarikan diri, namun kembali diseret dan dikurung di kamar.

Baja juga:  Selebgram Siskaeee Akan Penuhi Panggilan Polda 25 September Lusa

Kejadian ketiga terjadi pada Oktober 2024, ketika B tertidur kelelahan setelah membersihkan kamar. Menurut pengakuan S, dalam kondisi tertidur, mulut korban kembali dibuka paksa oleh pelaku hingga terjadi tindakan asusila.

Selain kekerasan seksual, korban juga mengaku pernah ditembak peluru karet dan menerima kekerasan fisik dari dua pelaku lainnya yang berinisial P dan Z. Akibatnya, B mengalami luka memar di wajah dan bagian tubuh lainnya.

 

Upaya Orang Tua Korban Terhambat

Pada 19 Januari 2025, S mendatangi pondok pesantren untuk meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban. Namun, ia mengaku tidak pernah dipertemukan dengan pihak pelaku maupun pimpinan pondok, meski telah menunggu hingga tengah malam.

S juga mengklaim bahwa pihak pesantren memberikan keterangan berbeda saat dimintai penjelasan oleh Kementerian Agama. Dalam dokumen resmi, pesantren menyatakan tidak ada tindakan asusila, serta menyebut S sebagai orang tua yang menyerahkan anaknya karena “tidak mampu mengurus” sebuah tuduhan yang dibantah keras olehnya.

Karena tidak menemukan kejelasan, S kemudian melapor ke Kementerian Agama, KPAI, hingga akhirnya membuat laporan polisi pada akhir Maret 2024. Meski begitu, proses hukum disebut berjalan lambat dan tidak seluruh unsur kekerasan turut masuk dalam berkas perkara.

Baja juga:  900 KK di Muara Angke Jakarta Utara Krisis Air Bersih

“Banyak yang hilang di BAP. Pemukulan tidak dimasukkan, penembakan juga tidak tercantum. Katanya nanti disampaikan saja di pengadilan,” ujar S, Kamis (20/11).

 

Proses Hukum Berjalan Setahun

Baru pada Oktober 2025, berkas perkara pelaku K dinyatakan lengkap (P21). Jaksa kemudian menuntut pelaku dengan hukuman tiga tahun penjara, sebuah tuntutan yang dianggap terlalu ringan oleh keluarga korban.

“Anak saya harus menanggung trauma seumur hidup. Apa pantas pelakunya hanya dituntut tiga tahun?” ucap S.

Sementara itu, pelaku lain yang terlibat dalam kekerasan fisik disebut tetap bersekolah dan tidak menerima sanksi tegas dari pihak pesantren hingga akhirnya ikut diproses setelah laporan berkembang.

 

Korban Trauma dan Berhenti Mondok

Sejak kejadian, B mengalami trauma berat. Ia enggan kembali ke pesantren, mudah marah, menarik diri dari pergaulan, dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Pendidikan korban kini dialihkan ke program paket karena kondisi psikologisnya.

“Saya hanya ingin anak saya tahu bahwa ibunya memperjuangkan dia sampai akhir. Saya ingin keadilan untuk masa depannya,” kata S.

Hingga berita ini diturunkan, keluarga menyebut pihak pesantren belum pernah sekalipun meminta maaf, sementara proses persidangan untuk pelaku utama masih menunggu putusan hakim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *