Venomena.id – Saling sindir antar kader di partai besutan Oesman Sapta tengah ramai jadi sorotan. Sosok kader senior Partai Hanura Inas Zubir mendapat kritik tajam dari juniornya Agung Giantoro, terkait terminologi koalisi dan kerjasama politik dalam sebuah Partai Politik.
Kritik Agung ini menyikapi atas ramainya tulisan Inaz diberbagai grup percakapan WhatsApp aktifis beberapa waktu belakang,. Dimana tulisan tersebut menyinggung terkait Koalisi atau Kerja Sama Politik antara Partai Hanura dan PDIP paska Pilpres sudah selesai.
Sosok Agung, memulai dengan menjabarkan apa itu Ilmu politik, bahwa Ilmu Politik termasuk dalam rumpun ilmu sosial. Dimana definisi dari sebuah terminologi atau kosakata dalam ilmu politik tidak bisa dihakimi dalam perspektif sempit dan kaku, seperti dalam ilmu eksata. Satu istilah dalam ilmu politik bisa memiliki puluhan bahkan ratusan definisi, tergantung pakar ilmuwan yang memberikan definisinya.
“Apa yang dikatakan Oso bahwa Hanura tidak berkoalisi, melainkan kerjasama dengan PDIP dalam mengusung Ganjar – Mahfud di Pilpres adalah bentuk kecerdasan politik praktis sekaligus akademis. Hal tersebut diamini Megawati saat pidatonya di Rakernas PDIP di Ancol,” jelas Agung saat berbincang dengan awak media, di Jakarta, Selasa 28 Mei 2024.
Lebih jauh, Agung menambahkan sosok Inaz Zubair perlu untuk lebih jauh mempelajari politik dan ketatanegaraan lebih jauh lagi
“Jika Bung Inas mempelajari praktik politik dan ketatanegaraan di banyak Negara modern sejak abad 20 dan 21 sekarang. Memang nyaris tidak dikenal terminologi ‘Koalisi’ dalam praktik politik di Negara-negara yang menganut sistem Presidensial,” jelas Agung.
Terkait penilaian Inaz, bahwa Hanura dinilai telah menjadi organisasi sayap dan kacung PDIP karena pernyataan OSO bahwa Hanura akan terus bersama PDIP. Hal tersebut dikritik keras oleh Agung.
“Merupakan bentuk kedunguan kedua dari seorang yang mengaku politisi senior. Justru statemen Oso itu merefleksikan political virtue (kebajikan politik). Refleksi nilai-nilai ideal politik yang selama ini sering ditanggalkan dalam praktik dunia politik kita. Yaitu nilai loyalitas dan kesetiakawanan dalam memperjuangkan idealisme politik,” tegas Agung.
Agung menelaah, justru selama ini politisi-politisi kita terjebak dalam Hyper Pragmatisme Politik. Segala sesuatu motif dan tindakan politik diukur oleh jabatan (kekuasaan) dan uang (kekayaan).
“Ketika dalam Koalisi atau Kerjasama tidak berhasil mendapatkan dua hal tersebut, maka meninggalkan kawan koalisi adalah sebuah keniscayaan. Keputusan Hanura untuk terus bersama dengan PDIP, tentu memiliki pertimbangan strategis, yang lebih mengutamakan perjuangan mewujudkan visi politik kebangsaan jangka panjang. Bukan sekedar untuk dapat jatah menteri atau komisaris BUMN,” tambah mantan aktivis 98 ini.
Munculnya pernyataan Inaz yang menganggap, dengan kalahnya pasangan Ganjar-Mahfud yang diusung PDIP, Hanura, Perindo, dan PPP, maka berakhir juga koalisi atau kerjasama mereka, merupakan pernyataan yang dianggap tidak negarawan.
“Statemen ini adalah bentuk kedunguan berikutnya dari seorang Inas Zubir. Tak ada regulasi atau kaidah umum, tentang harus bubarnya koalisi atau kerjasama politik ketika kalah di Pilpres,” jelas Agung lagi.
Ditambahkan Agung, semua partai memiliki kebebasan dalam menentukan sikap politiknya, apakah akan bubar atau terus kerjasama. Justru jika ada kumpulan partai yang tetap terus bersama walaupun kalah di Pilpres, berarti kumpulan partai tersebut adalah partai-partai yang lebih mengedepankan idealisme politik, visi kebangsaan ketimbang pragmatisme politik sempit (jabatan dan uang).
“Kedewasaan dan kecerdasan berpolitik seorang politisi, tidak hanya ditentukan pengalaman, namun juga luasnya wawasan dan banyaknya bacaan. Semoga akan banyak lahir politisi intelektual bukan politisi bebal,” imbuh Agung.
(rdk/rdk)